Kamis, 30 Agustus 2007

Hikayat La Galigo

HIKAYAT LA GALIGO


La Galigo adalah epik terpanjang di dunia. Epik ini tercipta sebelum epik Mahabharata. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninkelijk Instituut Taal Land en Volkenskundig Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah mukasurat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000 tidak termasuk simpanan oleh pribadi-pribadi.
Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilaya Luwu’ Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga (kemungkinan Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu’. Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu’. Sesampainya tentara Luwu’, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga. Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.

La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo.
Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.

Essei Tana Luwu




KEDATUAN LUWU


Oleh Armin Mustamin Toputiri


“Luka taro datu, telluka taro adek,
Luka taro adek, telluka taro anang,
Luka taro anang, telluka taro to maega”


Demikian rangkaian kata bermakna yang berwujud menjadi bagian prinsipil terhadap tegaknya tata nilai dan terbangunnya tatanan yang demokratis dalam suatu komunitas sistem pemerintahan Kedatuan Luwu di masa lampau, yang artinya: ”Batal ketetapan raja, tak batal ketetapan pemangku adat. Batal ketetapan pemangku adat, tak batal ketetapan kepala-kepala keluarga besar di daerah-daerah. Batal ketetapan keluarga-keluarga besar, tak batal ketetapan orang banyak.
Aturan yang menjadi tata nilai ini, memberikan gambaran: Pertama, bahwa komunitas masyarakat Kedatuan Luwu sesungguhnya memiliki kisah peradaban tinggi di masa lampau, ditandai dengan dianutnya suatu bentuk stratifikasi kelembagaan sosial, yakni, (1) adanya Datu sebagai pucuk pimpinan, (2) adanya para Pemangku Adat sebagai penjaga tatanan atas tata nilai, (3) adanya para Kepala-Kepala Keluarga Besar sebagai bagian dari perpanjangan tangan kepemimpinan Datu terhadap Orang Banyak, serta (4) adanya Orang Banyak, sebagai suatu komunitas masyarakat kedatuan
Kedua, bahwa keempat komponen itu kemudian diikat oleh sutu tata nilai yang dihormati dan dijunjung tinggi secara bersama, sebagai perisai untuk menjaga keberlangsungan tatanan dan peradaban sosial komunitas kedatuan. Ketiga, bahwa setinggi-tingginya kekuasaaan yang dimiliki seorang Datu, tetap harus berdasar pada keputusan stratifikasi kelembagaan yang berada di bawahnya, sampai pada level terendah, yang justru dimana letak kedaulatan tertinggi itu berada, yaitu Orang Banyak. Demikian semestinya, karena kekuasaan Kedatuan Luwu tidaklah bentuknya monarki dan tidak bersifat absolut, tetapi lebih berindikasikan pada suatu komunitas kedatuan yang demokratis.
Apa yang coba ingin dimaknai dari rangkaian tata nilai dari peradaban komunitas Kedatuan Luwu ini, bahwa apapun yang menjadi putusan para Pemangku Adat, dan apapun yang kelak menjadi kebijakan Datu, yang selanjutnya akan dijabarkan oleh para Kepala-Kepala Keluarga Besar, sumber muaranya dari dan oleh Orang Banyak, sebagai bagian dari sistem kedatuan yang demokratis. Untuknya ”sengketa” terhadap siapa pemegang amanah kekuasaan Kedatuan Luwu yang sah dia alam kemerdekaan sekarang ini, sesungguhnya tidaklah perlu menjadi pertentangan, karena sumber aspirasinya berada pada sejauhmana kedaulatan Orang Banyak bisa diterjemahkan secara bijak oleh para Pemangku Adat, sehingga kekuasaan kedatuan benar-benar mendapatkan pengakuan dan legitimasi dari Orang Banyak.
Saatnya semua pihak dituntut lebih arif untuk kembali membangun tegaknya sebuah tata nilai, sehingga peradaban sosial komunitas Kedatuan Luwu menemukan kembali bentuknya, meskipun tidak se-ideal lagi dapat dipaksakan untuk dijelmakan seperti masa lampau, tetapi cukup dengan mentranformasikan ajaran dan nilai-nilai yang dikandungnya. Demikian karena pasca penyerahan kedaulatan Kedatuan Luwu oleh Pajung-E Andi Jemma kepada pemerintah Republik Indonesia yang sah, maka sejak itulah wilayah, kekuasaan dan kebijakan Kedatuan Luwu, secara de-jure sendirinya beralih ke dalam sistem pemerintahan formal dalam bingkai NKRI.
Tetapi meskipun demikian kejadiannya, tidak berarti bahwa setelah wilayah, kekuasaan dan kedaulatan sudah berpindah kepada pemerintahan formal, maka Kedatuan Luwu secara de-facto juga harus menghilang, tetapi dia harus tetap ada dan selalu didayakan untuk berkelangsungan dan bertumbuh kembang secara kultural, meskipun hanya sebatas simbolik. Sebab bagaimanapun bentuknya, masih kokohnya istana Kedatuan Luwu sebagai simbol pemersatu, diharapkan mampu menceritakan pada perjalanan zaman tentang adanya tata nilai yang dianut oleh komunitas masyarakat Luwu, sebagai masyarakat yang berperadaban tinggi sejak dahulu kala. Dan sebaliknya tentu akan menjadi kekeliruan besar kalau kemudian istana dan kedatuannya masih tetap dipertahankan untuk dilembagakan dengan tatus quo yang ekslusif.
Dikutip dari: Harian Palopo Pos, 01 September 2006

Propinsi Luwu Raya

Provinsi Luwu Raya, Mungkinkah Terwujud?

PERTANYAAN seperti inilah yang kerap hinggap di benak masyarakat Luwu, khususnya di Kotamadya Palopo, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Bahkan, kasak-kusuk konsep Provinsi Luwu Raya ini kerap menjadi perbincangan serius mulai dari daeng becak di warung-warung tegal sampai dengan kalangan intelektual di forum-forum diskusi.
Iya, Mbak. Memang ada rencana mau dibuat Luwu Raya. Tapi, tidak tahu kapan. Jadi apa tidak, ya? Kami sih maunya cepat. Kan bisa jadi kota besar," ujar daeng becak yang kerap ngetem di depan terminal yang kemudian berandai-andai jika saja Palopo menjadi ibu kota Provinsi Luwu Raya.
Aspirasi masyarakat Luwu eks kerajaan/afdeling untuk membentuk Luwu Raya ini sendiri telah dipelopori dan diperjuangkan Raja Kerajaan Luwu Sri Paduka Datu Luwu Andi Djemma sejak tahun 1953-1963. Sejak itulah desakan-desakan masyarakat untuk membentuk Luwu Raya semakin kencang. Kalangan aktivis LSM pun tegas-tegas menolak tudingan munculnya aspirasi pembentukan Luwu Raya hanya eforia trend otonomi daerah. Bahkan, tanggal 17 Juli 2001 digelar Kongres Rakyat Luwu yang bertujuan menyatukan dan membulatkan tekad sepakat untuk membangun Luwu Raya.
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000, maka pembentukan Luwu Raya ini sebenarnya telah memenuhi syarat dan kriteria yang ada, yakni telah memiliki minimal tiga kabupaten. Dulu pembentukan Luwu Raya ditolak gubernur dengan alasan wilayahnya tidak memenuhi syarat. Kini, dengan wilayah Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja, dan Kotamadya Palopo masih saja ditolak.

***

KOORDINATOR Forum LSM Tana Luwu (Fortal) Baharman Supri mengungkapkan, pembentukan provinsi yang merupakan gabungan dari Luwu, Luwu Utara, Tator, dan Palopo, ini sebenarnya tinggal menunggu sidang pleno DPRD Luwu saja. Pasalnya, dalam PP No 159/2000, persyaratan tambahannya perlu rekomendasi DPRD melalui sidang pleno.
Persyaratan inilah yang hingga kini menghambat pembentukan Luwu Raya. Bahkan, PP baru itu dinilai sengaja dibuat untuk menghambat aspirasi masyarakat Luwu dan sekitarnya. Pasalnya, Baharman mengaku pihaknya telah memiliki surat rekomendasi pembentukan provinsi itu lengkap dengan tanda tangan Bupati dan Ketua DPRD Luwu, Luwu Utara, Tator, serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
"Dulu begitu saja tidak apa-apa. Sekarang surat itu dianggap tidak sah. Yang jelas suratnya sudah kami masukkan ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan nama Luwu Raya sudah terdaftar sejak tahun 1991. Pihak Mendagri bilang tidak bisa hanya dengan surat itu saja. Masih harus ada penguatan rekomendasi DPRD melalui sidang pleno. Itu yang sampai sekarang belum dilakukan. Kami akan desak DPRD pleno," jelas Baharman.
Padahal, tambah Baharman, DPRD Luwu sudah didemo terus tapi tidak ada kemajuan selama empat tahun ini. Tampaknya DPRD tingkat II tidak antusias dengan penerbitan rekomendasi itu. Maka dari itu, Baharman berencana menggelar aksi rakyat untuk kedua kalinya demi mengingatkan pemerintah tentang aspirasi yang tengah berkembang.
"Luwu Raya ini tak lama lagi akan terwujud. Kami bertekad Luwu Raya setidaknya sudah terbentuk sebelum Pemilu 2004. Jika pada saat yang ditentukan Luwu Raya belum juga terbentuk, akan ada pembangkangan massal. Salah satu caranya adalah dengan menolak membayar pajak," kata Baharman menegaskan.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPRD Luwu Andi Mudzakkar menyatakan, pihaknya tetap mendukung seratus persen pembentukan Luwu Raya. Hanya saja hingga kini belum ada "lampu hijau" dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel. Mudzakkar pun menilai pembentukan provinsi ini kemungkinan sengaja dihambat. Pasalnya, jika nanti Luwu Raya benar-benar terwujud, tentu saja akan merugikan karena Sulsel akan kehilangan sumber pendapatan yang terbesar.
"Selama ini, kan, Luwu yang paling banyak memberikan sumbangan PAD pada pemprov. Potensi alam yang kami miliki ini kan luar biasa. Di sini semuanya ada, mulai dari sektor perkebunan hingga perikanan. Saya kira pemprov takut kehilangan ini," kata Mudzakkar.
Dengan banyaknya potensi yang ada di Luwu, tambah Mudzakkar, maka tidak ada alasan lain untuk menghalangi pembentukan Luwu Raya. Jika dibandingkan dengan daerah lain, Luwu jauh lebih unggul dan lebih memenuhi persyaratan, dan bahkan sanggup menghidupi dirinya sendiri. "Jangan sampai daerah lain diberi izin membentuk provinsi baru tapi Luwu tidak. Apa lagi halangannya? Tidak ada. Aspirasi dari bawah sudah ada. Berarti tinggal persetujuan dari pusat," ujarnya mempertanyakan.
"Tidak ada alasan yang mendasar dan rasional untuk menolak. Dalam UU sah-sah saja. Kita bisa terima alasan penolakan gubernur asalkan jelas dan kuat. DPRD hanya sebagai penyalur aspirasi masyarakat saja. Masing-masing pihak baik masyarakat maupun pemerintah mempunyai alasan tersendiri untuk menuntut dan menolak Luwu Raya," tambah Mudzakkar.
Menanggapi hal ini Gubernur Sulsel HZB Palaguna saat ditemui Kompas menyatakan, tuduhan menghalangi pembentukan Luwu Raya karena alasan ekonomis dan politis itu sama sekali tidak benar. Palaguna menyatakan, wewenang keputusan pembentukan provinsi baru itu tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. "Tidak ada satu pun usaha untuk menghalangi pembentukan provinsi baru itu," tegasnya tanpa menerangkan lebih jauh.

***

MENURUT pakar komunikasi Universitas Hasanuddin Prof Dr AS Achmad, masyarakat Luwu, Luwu Utara, Tator, dan Palopo, harus terus berjuang dan jangan hanya terpaku pada pembentukan Luwu Raya saja. Pasalnya, tujuan pembentukan Luwu Raya ini lebih pada pengembangan otonomi yang optimal.
Visi perjuangannya pun demi menegakkan jati diri dan menegaskan identitas serta eksistensi Luwu. "Luwu Raya ini hanyalah alat dan bukan tujuan akhir. Cita-citanya adalah bagaimana membangun Luwu menjadi aman sejahtera. Yang penting itu sebenarnya setelah Luwu Raya terbentuk, terus apa yang akan dilakukan," tegasnya.
Secara administratif, pembentukan Luwu Raya juga bertujuan untuk memperpendek jalur birokrasi. Mendekatkan pelayanan pemerintah dengan masyarakat. Pasalnya, selama ini masalah jarak yang jauh menjadi masalah krusial di Luwu. Jarak Luwu-Makassar sejauh 400 kilometer menjadi penghalang utama masyarakat Luwu dalam menyampaikan segala aspirasi.
Ide memperpendek birokrasi ini senada dengan Mudzakkar yang menyatakan pemekaran wilayah di Luwu memang dilakukan untuk mempermudah pelayanan administrasi pemerintah ke masyarakat. Pasalnya, pelayanan pemerintah tidak efektif jika wilayahnya terlalu luas. Pemprov Sulsel seharusnya melihat secara langsung kondisi Luwu.
"Jangan pakai alasan kewenangan sebagai alasan menolak pemekaran. Seharusnya pemerintah meninjau ke bawah mengenai seberapa kuat keinginan masyarakat akan Luwu Raya. Silakan datang sendiri ke Luwu untuk melihat kenyataan di lapangan. Silakan juga menilai sendiri apakah kami layak untuk berdiri sendiri sebagai Provinsi Luwu Raya atau tidak," tegas Mudzakkar.
Meskipun tekad pembentukan Luwu Raya telah bulat, Achmad mengakui masih ada perdebatan tentang keikutsertaan Tator dalam Luwu Raya. Achmad secara jelas menyarankan untuk saat ini lebih baik Tator tidak diikutsertakan dalam Luwu Raya. Pasalnya, rumah tangga intern Luwu saja belum beres (Luwu, Luwu Utara, dan Palopo) masak sudah mau mengajak orang lain masuk.
"Di tingkat grassroot Tator belum bisa diterima. Alasannya di Tator sering terjadi konflik dan Tator kurang bisa berbaur dan beradaptasi dengan orang di luarnya. Itu saja alasannya. Ini bukan masalah agama di Tator yang mayoritas Nasrani," tegasnya.
Menepis pernyataan Achmad, tokoh masyarakat Luwu M Sada menyatakan seharusnya semua pihak bisa menerima Tator. Pasalnya, pemangku adat Luwu saja bisa menerima Luwu Raya. Lagipula, dari segi sejarah, Kerajaan Luwu sejak dulu terdiri dari Kolaka, Poso, dan Tator. Alasan penolakan yang selama ini berkembang adalah semata-mata karena perbedaan budaya antara Tator dan Luwu.
Alasan perbedaan budaya ini dinilai Sada terlalu berlebihan dan munafik. Pasalnya, 12 anak suku di Luwu saja budayanya juga sudah berbeda-beda. Bahkan, masing-masing memiliki bahasa lokal sendiri. Setidaknya ada sembilan bahasa yang berkembang di Luwu.
"Luwu dan Tator baru berpisah tahun 1957. Persoalan ini tampaknya masih perlu dibahas dan didiskusikan lebih panjang dengan semua kalangan. Kalau tidak segera selesai, ini akan jadi batu sandungan terus. Pihak Tator sendiri sudah mendukung 100 persen Luwu Raya. Ini masalahnya. Ada ketidakkompakan," jelas Sada.
Luwu sendiri adalah sebagian dari bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu, salah satu dari tiga kerajaan utama yang pernah ada di Sulsel dengan istilah Tellum Poccoe atau tiga kerajaan puncak. Kerajaan Luwu dianggap sebagai kerajaan tertua di Sulsel yang pada suatu periode pengaruhnya meliputi Kawasan Timur Indonesia, misalnya Gorontalo, Ternate, Bima, Buton, dan lain-lain.
Bahkan, masa sebelum pemerintahan Hindia Belanda, Luwu telah menjadi sebuah kerajaan dengan wilayah Makale, Rantepao, Kolaka (Sulawesi Tenggara), dan Poso (Sulawesi Tengah). "Yang kami tuntut adalah luas wilayah yang sama dengan bekas kerajaan dulu. Itu yang menjadi dasar perjuangan atas pembentukan Luwu Raya," kata Sada yang pernah menjadi anggota DPRD Luwu tahun 1971-1982.

***

MASALAH lain yang masih perlu dipikirkan adalah strategi penanganan konflik antarkelompok di Luwu. Pasalnya, potensi konflik di Luwu dan sekitarnya sangat tinggi. Kebijakan pemerintah yang menetapkan Luwu sebagai sasaran daerah transmigrasi memiliki konsekuensi daerah ini akan dihuni beranekaragam penduduk.
Ada kemungkinan timbul persoalan antarpenduduk pendatang dan lokal yang masing-masing membawa aspek agama dan suku. Pendatang biasanya memiliki etos kerja lebih tinggi sehingga memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi juga. Inilah yang kerap menimbulkan kesenjangan ekonomi.
Menurut Achmad, semua pihak seharusnya memikirkan matang-matang rencana pembentukan Luwu Raya terlebih dahulu. Apalagi mengingat kondisi masing-masing daerah yang masih sering ribut sendiri. Konflik yang kerap muncul selalu berhubungan dengan kecemburuan sosial antara pendatang dan warga lokal.
"Akhir-akhir ini, kan, sering terjadi dan sampai sekarang masih terus berlanjut. Ada disharmoni dalam masyarakat. Konflik yang terjadi bermula dari tidak sesuainya sistem yang sekarang berlaku dengan sifat dasar Luwu. Jika masing-masing daerah belum bersatu, Luwu Raya yang dicita-citakan itu tidak akan ada gunanya," ujar Achmad.
Dalam menangani konflik yang kerap terjadi, Achmad mengusulkan perlunya pendekatan secara sosio kultural seperti misalnya meningkatkan nilai-nilai budaya melalui tokoh-tokoh agama dan masyarakat. "Jangan dengan pendekatan secara hukum terus. Kalau begitu caranya, pemerintah tidak akan bisa menyelesaikan masalahnya secara tuntas karena hanya sepotong-sepotong. Suatu saat nanti pasti akan muncul konflik yang sama," ujarnya.
Menurut Kepala Satuan Serse Polres Luwu Prayitno, potensi konflik di Luwu termasuk tertinggi dan rawan di Sulsel. Namun, pada tahun 2002 ini jumlah konflik yang terjadi menurun drastis. Pada tahun 2000 setidaknya lebih dari 20 konflik terjadi dan ditanganinya beserta sekitar 840 personel dari Polres Luwu dan Luwu Utara, yakni di Padangsappa, Sabang, Seba-seba, dan Malangke.
Menurut Prayitno, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik. Namun, yang jelas faktor multi-etnis dan heterogenitas di Luwu lah penyebab utama terjadinya konflik. Pasalnya, Luwu itu bagaikan Indonesia kecil yang menampung berbagai macam etnis se-Indonesia. Agama, budaya, dan geografis mempengaruhi konflik juga. Benturan-benturan atau gesekan antar etnis inilah yang kerap terjadi. "Biasanya pemicunya itu hanya masalah tersinggung dan temperamen yang tinggi," ujarnya.
Aspirasi masyarakat Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja, dan Kotamadya Palopo telah terkumpul. Kemauan sudah kuat. Potensi alam dan manusia sudah ada dan lengkap. Namun, rupanya ketiga hal itu belumlah dianggap cukup untuk mewujudkan Provinsi Luwu Raya impian. Masih banyak paperwork lainnya.
Apa boleh buat. Mudzakkar pun mengaku tidak bisa menyalahkan sepenuhnya gubernur. "Gubernur memang sah-sah saja menolak pembentukan Luwu Raya ini. Tapi, jika alasannya jelas, alasan kenegaraan," ujarnya. (Luki Aulia)
Dikutip dari: Kompas, 07 Juni 2002

PERJUANGAN PROPINSI LUWU

Peresmian Bandara Lagaligo, Bua - Luwu

GEMA LUWU RAYA
Sejarah panjang perjalanan, dan keinginan rakyat dan politik di Luwu membentuk satu provinsi tersendiri dan atau sejenisnya sudah bermula sejak puluhan tahun lalu. Ketika masih hidup raja (Datu atau Pajung’e Ri Luwu), Andi Djemma, beliau pernah menemui Presiden R.I, Ir. Soekarno pada tahun 1958. Beliau meminta kepada presiden R.I satu Pemerintahan Daerah Istimewa di Luwu. Alasannya karena raja dan rakyat Luwu, sepenuhnya mendukung proklamasi kemerdekaan R.I, tanggal 17 Agustus 1945 dan malah pada tanggal 18 Agustus 1945, beliau membentuk ‘Gerakan Sukarno Muda’ yang dipimpin langsung oleh beliau; selain itu, beliau memimpin rakyat Luwu pada tanggal 23 Januari 1946 melawan tentara Sekutu yang diboncengi oleh NICA di kota Palopo. Karena kekuatan tidak seimbang, hingga beliua terpaksa meninggalkan istana bersama permaisyurinya, memimpin rakyatnya bergerilya didalam wilayah kerajaannya, hingga tertangkap oleh tentara NICA dan dibuang ke Ternate. Atas jaza-jaza beliau ini, beliau telah dianugrahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, dengan nomor 36.822 yang ditanda tangani olwh Presiden Sukarno. Permintaan dari beliau direstui oleh Presiden Sukarno, namun Daerah Istimewa yang dijanjikan dimaksud tidak pernah terwujud dalam kenyataan, sebagai mana diharapkan beliau, karena saat itu di Luwu, sementara bergejolak pemberontakan DI/TII yang dipimpin lansung oleh Abdul Kahhar Mudzakkar. Hingga Datu Andi Jemma wafat pada tanggal 23 Feberuari 1965 cita-citanya belum terwujud.
Selanjutnya pada tahun 1963 kembali Panitia Pembentukan Daerah Tingkat I Luwu terbentuk, saat itu diketuai oleh Abdul Rachman Yahya BA, dengan anggotanya masing-masing Abu Daeng Masalle, Rasad Munir, Jaksa Baso dan Tondongan, karena juga alasan keamanan didaerah Luwu masih belum pulih usaha ini lagi-lagi mengalami kegagalan disebabkan, karen Penguasa Militer waktu itu di Makassar adalah Solihin GP selaku Pangdam Hasanuddin dan Gubernur Andi Arifai, melakukan politik adu domba diantara para bangsawan Luwu, sehingga Andi Attas dan Andi Bintang berpihak kepada Penguasa Militer. Maka pupuslah harapan untuk lahirnya Daerah Tingkat I Luwu. Para Panitia Perjuangan pembentukan provinsi Luwu ini, semua dikorbankan, dengan jalan dimutasikan keluar Tana Luwu, sampai ada yang diancam akan dipindahkan ke Irian Jaya (sekarang Papua).
Kemudian pada tahun 1967, kembali Bupati Luwu yang dijabat pada waktu itu oleh Andi Rompegading bersama dengan Ketua DPRD-Gotong Royong Daerah Tingkat II Luwu Andi Pali, menggaungkan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Luwu. Sebelum jauh melangka juga mengalami nasib sama; beliau diberhentikan menjadi Bupati di Kabupaten Luwu; malah ditarik dari Palopo ke Makassar dan Andi Pali juga diturunkan dari jabatannya selaku ketua DPRD dan diganti oleh bangsawan lain yang pro kepada penguasa meliter. Jadi terjadi nasib sama, provinsi Luwu belum kunjung datang.
Pada tahun 1999, sejalan dengan arah pembaharuan 'era-reformasi', angin reformasi berembus jadi angin turutan menyebabkan Andi Kaso Pangerang memulai kembali satu gerakan lanjutan dambakan terpendam dari keinginan rakyat Luwu kearah pembentukan provinsi Luwu. Beliau sendiri mengetuai Perjuangan Pembentukan Provinsi Luwu ini, juga mendapat tatangan dari pihak panitia Pemekaran Kabupaten Luwu Utara, Perjuangan Provinsi Luwu menjadi korban, dikorbankan dari semacam barter lahirnya Kabupaten Luwu Utara disatu pihak dengan terkuburnya usaha pembentukan Provinsi Luwu dilain pihak.
Tahun 2001 bangkit lagi satu panitia perjuangan Provinsi Luwu yang di pelopori oleh dua tokoh cendekiawan asal tanah Luwu: Prof Dr H. M. Iskandar dan Prof Dr Mansyur Ramli, untuk tampil menghidupkan Pembentukan Provinsi Luwu, kembali tumbang sebelum tegak, layu sebelum berkembang. Terhambat dengan adanya pemekaran dari Kabupaten Luwu Utara untuk Luwu Timur dan Peningkatan Status Kota administratif Palopo yang sejak tahun 1986 menjadi Kota otonom. Perjuangan Pembentukan Provinsi Luwu kandas lagi untuk kesekian kalinya. Diduga, karena adanya komitment Andi Hasan Opu To Hatta dengan H.M.Amin Syam selaku ketua Golkar Provinsi yang kini menjadi (gubernur Sulsel) dengan adanya Pemekaran Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Luwu harus dikubur.
Sejak bulan Pebruari 2004, satu panitia kordinasi yang diketua oleh Rakhmat Sujono SH, beliau terpilih menjadi ketua Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Luwu. Dalam perjuanganya, Bakor (badan kordinasi) yang dipimpin beliau akan melakukan kordinasi dan mengambil inisiatif seperlunya untuk mendesak dua DPRD Luwu Utara dan Luwu Timur yang belum mau menandatangani rekomensi tanda persetuannya untuk membentuk provinsi Luwu. Dimana Kota Palopo dan Kapaten Luwu sudah menandatangani rekomendasi persetujuan dimaksud.
Pada tahun 1999, berlaku Peraturan Pemerintah (PP 129 tahun 1999) mensyaratkan hanya 3 Kabupaten/kota saja dapat membentuk satu provinsi, tetapi dengan UU No.32 tahun 2005 yang berlaku sekarang, telah mensyaratkan 5 kabupaten/kota.
Persoalan yang muncul dan dihadapi Panitia Perjuangan pembentukan provinsi Luwu Raya dalam hal ini, adalah tekanan Gubernur Sulsel H.M.Amin Syam yang tidak menyetujui Pembentukan Provinsi Luwu. Kepada seluruh Bupati/walikota se tana Luwu ditandaskan hal ini. Sehingga tidak ada diantara mereka berani mengambil langka lebih jauh tentang Provinsi Luwu. Terlebih lagi Ketua DPRD Luwu Utara dan Ketua DPRD Luwu Timur.
Persoalan lain adalah pro-kontra tentang masuk atau tidaknya Kabupaten Tana Toraja dalam bingkai Perjuangan Provinsi Luwu. Untuk menyelahi pro kontra ini Bupati Luwu Drs H. Basmin Mattayang mencanangkan Pembentukan Kabupaten Luwu Tengah, yang terdiri dari Walenrang & Lamasi. Untuk mewujudkan hal itu, H. Basmin Mattayang memekarkan dari 2 kecamatan tersebut diatas menjadi 6 kecamatan, diharapkan Kabupaten Luwu Tengah akan terbentuk paling lambat tahun 2010.
Perjuangan Provinsi Luwu menurut pihak panitia, dimasa mendatang ada ditangan Andi Hasan Opu To Hatta selaku ketua DPRD Luwu Timur, yang tampa menyadari perjalanan masa dan waktu tidak akan berputar balik dari peredaranya। Dan atau hanya dengan manuver politik, masih menghendaki Daerah Istimewa Luwu. Berdasarkan UU no 32 tahun 2005 tidak mengatur tentang tata cara mengenai pembentukan Daerah Istimewa, Undang-Undang ini hanya mengatur pembentukan provinsi.
Dikutip dari: wikipedia