Minggu, 16 Maret 2008

Luwu 1905

Makam Petta Matinroë ri Malangke (1941)
LUWU, 1905

Oleh Taufik Rahzen

Luwu berada di ujung utara Provinsi Sulawesi Selatan. Ia bukan hanya menjadi nama kerajaan yang disebut tertua di Sulawesi. Luwu menjadi bagian tak terpisahkan dari kebesaran kebudayaan dan peradaban di Sulawesi.
Karena itulah, kita tak bisa melewatkan begitu saja keberadaan Luwu ketika berikhtiar untuk memahami kosmologi dan peradaban di Sulawesi. Bukan hanya eksistensi kerajaannya, tetapi juga tinggalan pengetahuan dan mitologi yang diwariskan oleh kebudayaan dan peradaban kerajaan Luwu.
Kerajaan ini berpusat di tepi Teluk Bone. Salah satu tilas yang masih tersisa dari kerajaan Luwu adalah kompleks Kedatuan (kerajaan) Luwu yang berada di kota Palopo. Dari situlah, Raja Luwu mengendalikan wilayah kekuasaannya yang meliputi Tanah Toraja (Makale dan Rantepao), Kolaka di Sulawesi bagian selatan hingga Poso di Sulawesi bagian tengah.
Seperti halnya peradaban-peradaban lain di Nusantara, Luwu juga membangun sistem pengetahuannya sendiri yang komplek dan meliputi banyak aspek kehidupan, dari mulai aspek-aspek kehidupan praktis hingga sistem pengetahuan yang menjelaskan asal-usul dan kosmologi orang-orang Luwu.
La Galligo atau Sureq Galigo -yang kerap dibandingkan dengan naskah Mahabharata dan Illiad-adalah tinggalan paling spektakuler dari peradaban Luwu.
La Galigo bukan kitab sejarah melainkan sebuah epik yang dipenuhi mitos dengan imbuhan cerita yang berkadar fantasi. Selain bisa memberi gambaran mengenai kebudayaan dan kehidupan masyarakat di Sulawesi sebelum abad-14, La Galigo juga menjadi sumber mata air dari pemahaman kosmologis orang-orang Luwu (dan Sulawesi) ihwal asal muasal diri mereka.
Dari La Galigo, orang-orang Luwu mengaitkan asal muasal mereka langsung kepada Batara Guru. Dalam kesadaran orang-orang Luwu, Batara Guru inilah yang menjadi manusia pertama yang (di)turun(kan) dari langit untuk menghidupkan Ale Kawaq (bumi) yang masih kosong.
Salah satu cucu Batara Guru muncul sebagai tokoh yang akan terus diingat oleh orang-orang Luwu dan bahkan Sulawesi: Sawerigading. Dia dikisahkan melayari berbagai pulau hingga ke tempat-tempat yang jauh di seberang samudera. Tokoh ini dianggap sebagai gambaran manusia setengah dewa yang mengejawantahkan nilai-nilai langit (Ilahiah). Beberapa ajarannya masih dipegang oleh sebagian pemangku adat yang ada di Luwu. Sawerigading memiliki putra yang cendekia bernama La Galigo. La Galigo inilah yang disebut menciptakan aksara yang dikenal dengan sebutan aksara La Galigo.
Peradaban Luwu mulai surut ke belakang menyusul makin pasangnya pengaruh kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi yang tumbuh terutama di bagian selatan Sulawesi. Pada 1509 Luwu sempat menyerang Bone. Alih-alih berhasil, Raja Luwu justru hampir terbunuh.
Justru karena Luwu tak lagi menjadi pusat yang menentukan, Luwu relatif lebih belakangan ditaklukkan oleh pemerintah kolonial. Belanda baru berhasil menguasai Palopo, ibukota kerajaan Luwu, pada 1905.
Penaklukkan Palopo baru bisa dilakukan setelah Belanda berhasil menghentikan perlawanan Luwu yang dipimpin oleh Hulubalang Andi Tadda. Pertempuran yang paling hebat berlangsung di pantai Panjalae. Pertempuran itu berlangsung untuk menahan penetrasi tentara kolonial yang masuk dari arah selatan.
Guna membangun legitimasi kekuasaannya di Luwu, pemerintah kolonial membangun istana di pusat kota Palopo sekitar tahun 1920-an. Istana itu dibangun setelah sebelumnya menghancurkan kompleks bangunan istana lama kerajaan Luwu.
Pembangunan istana baru oleh Belanda di atas kompleks istana lama kerajaan Luwu merupakan upaya simbolik pemerintah kolonial untuk menghapus ingatan kolektif masayarakat Luwu terhadap sejarah dan asal muasal dirinya. Karena Luwu sendiri diakui sebagai kerajaan tertua di Sulawesi dan bahkan asal muasal manusia di Sulawesi berasal dari Luwu, maka langkah Belanda itu juga bisa dibaca sebagai upaya simbolik Belanda untuk membangun Sulawesi dari perspektif yang benar-benar baru.
(sumber: Jurnal Republik, Selasa, 20 November 2007)

Tidak ada komentar: