Jumat, 14 September 2007

To Manurung

To Manurung vs To Sangiang
STUDI KASUS MASA AWAL KERAJAAN TANETE

Oleh: Sahajuddin
Dosen Luar Biasa Ilmu Sejarah Unhas

Proses awal keberadaan kerajaan- kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada umumnya selalu diawali dengan mitos-mitos sebagai bentuk pengesahan dan legalitas kerajaan. Memang diakui bahwa sebelum mitos-mitos itu muncul dan menjadi suatu konsep legalitas kerajaan, sebenarnya kerajaan-kerajaan itu telah lama ada dan eksis menurut pemikiran kolektif kelampauan mereka seperti kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, Wajo, Tanete dan kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan. Mitos itulah yang memunculkan tokoh Tu Manurung yang mewarisi raja-raja berikutnya. Namun yang paling menajubkan karena kemunculannya selalu bertepatan dengan adanya konflik-konflik internal kerajaan yang bersangkutan, dan tokoh inilah yang dianggap sebagai juru selamat yang membawa keamanan, ketentraman dan kemakmuran kerajaan dan terbukti memang demikian.
Konstelasi politik kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada masa lampau selalu punya kecenderungan untuk menyelesaikan masalah lewat pihak ketiga dengan apa yang disebut Tu Manurung seperti yang terjadi di Gowa, Bone, Wajo, Luwu, Soppeng dan lain-lain. Namun ada juga variasi tertentu walaupun kemunculannya juga diawali adanya konflik internal dalam kerajaan bersangkutan seperti yang terjadi di Tanete. Sehingga permasalahan yang belum terjawab secara tuntas sampai sekarang adalah “kenapa To Manurung selalu muncul pada saat kerajaan itu dalam keadaan konflik, dan apakah itu merupakan konspirasi politik?” Paper ini bukan menjawab pertanyaan itu tetapi mendiskusikan pertanyaan tersebut dengan menampilkan kasus Tu Manurung di Bone dengan kasus To Sangiang di Tanete.
Tu Manurung di Bone diawali dengan mitologi yang tidak berangka tahun, walaupun diperkirakan bahwa To Manurung proses rawal munculnya terjadi sekitar abad XIII dan abad XIV. Demikian juga di Bone tidak ada angka tahun yang pasti kecuali dikisahkan bahwa Tu Manurung muncul pada saat kerajaan kosong dalam jabatan raja karena tujuh unit kerajaan yang ada di Bone selalu sulit menentukan pilihan siapa yang paling layak memegang tahta kerajaan. Kondisi itu berlarut-larut sampai datangnya Tu Manurung. Dimana dikisahkan bahwa kedatangan Tu Manurung diawali dengan hujan ribut, guntur menggelegar yang tiada henti-hentinya selama sepekan disertai angin kencang sehingga terjadi gempa. Dan setelah berhenti gempa, nampaklah salah seorang yang berpakaian putih-putih di suatu tanah lapang di Bone dan tidak ada yang mengetahui identitasnya sehingga di beri nama Tu Manurung (orang yang turun dari kayangan). Pada saat orang-orang Bone memintanya Tu Manurung untuk menjadi raja di Bone, tiba-tiba orang itu berkata bahwa permintaanmu itu baik sekali dan mulia tetapi kalian salah karena saya juga hanyalah hamba, namun jika rajaku yang kalian maksud dan minta, maka baiklah kiranya saya antar kesana.
Dalam perjalanan menuju tempat yang dimaksud pada waktu itu juga datang angin kencang, kilat, petir dan guntur bersambut- sambutan. Setelah sampai di Matajang, tempat yang dimaksud maka terlihatlah oleh orang banyak rombongan pembesar dari Bone seorang laki-laki duduk berpakaian kuning di sebuah batu “Napara” beserta tiga orang pengikutnya yang duduk di dekatnya. Ketiga orang itu masing-masing punya pegangan, satu memegang payung memayungi orang yang perpakaian kuning itu, satu memegang kipas dan yang satu memegang “salenrang” (puan atau tempat sirih). Pada saat itulah terjadi tawar menawar kepentingan demi kerajaan Bone, dan terwujudlah kontrak perjanjian antara Tu Manurung sebagai raja dengan rakyat Bone. Inilah awal integrasi kerajaan Bone dari tujuh unik kerajaan yang ada, dan keturunan Tu Manurung tersebut mewarisi tahta kerajaan berikutnya.
Hal yang menarik pula untuk dibandingkan dengan Tu Manurung adalah To Sangiang pada masa awal kerajaan Tanete. Perbandingan yang dimaksud disini adalah masalah konflik internal kerajaan tanete dengan munculnya To Sangiang, sebab kalau yang diperbandingkan mengenai periodesasi proses awal keberadaan To Manurung di kebanyakan kerajaan di Sulawesi selatan dengan periodesasi proses awal kemunculan To Sangiang di kerajaan Tanete merupakan periode yang berbeda. To Manurung banyak di beritakan muncul sekitar abad XIII dan abad XIV, sementara To Sangiang di Tanete muncul sekitar abad XV atau abad XVI. Namun masa awal kerajaan Tanete juga mengisyaratkan cerita mitologis tetapi sangat berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi selatan. Kalau kerajaan lain pada umumnya melahirkan tokoh Tu Manurung dari dunia atas maka di Tanete melahirkan tokoh dengan sebutan To Sangiang dari dunia bawah yang ditandai dengan adanya ciri-ciri berupa air dalam Balubu yang selalu penuh dengan air dan ikan yang banyak yang sewaktu-waktu dibawahkan oleh burung-burung yang mengabdi padanya di atas Gunung Pangi.
Keluarga To Sangiang inilah yang nantinya membuka lahan pertanian yang cukup subur yang mendatangkan kemakmuran dan tempat itu tidak begitu jauh dari laut dengan sebutan Arung Nionjo, kemudian menjadi Agang Nionjo dan selanjutnya diabadikan menjadi kerajaan Agangnionjo sebagai cikal bakal kerajaan Tanete nantinya pada masa pemerintahan Raja VII Tu Maburu Limanna. Pada masa terbentuknya kerajaan Agangnionjo sampai pada masa pemerintahan Tu Maburu Limanna yang kami anggap sebagai masa awal kerajaan Tanete karena pada masa itu nama kerajaan Agangnionjo berubah menjadi kerajaan Tanete.
Dalam tradisi lisan masyrakat Tanete yang kita kenal sekarang dimana pada masa lampau di daerah tersebut diceritakan adanya beberapa kerajaan yang sudah eksis dengan sebutan ke-Arungan atau wilayah kekuasaan seseorang penguasa yang di sebut Arung. Adapun Arung yang sangat terkenal pada masa itu ialah Arung Pangi dan Arung Alekale. Dimana dikisahkan Arung Pangi bersama pengiringnya melakukan perburuan di kawasan pegunungan Pangi. Pada saat mereka mencapai puncak gunung di daerah jangang-jangangnge dijumpai sebuah tempayan (balubu) yang berisi air, suatu pertanda bahwa ada penghuni di tempat itu. Dugaan itu ternyata benar. Mereka menemukan sepasang suami- istri sedang duduk dan di sekitarnya beterbangan burung-burung Bangau yang datang menghampiri mereka dengan membawa ikan. Ikan-ikan mentah yang dibawa burung-burung itu diberikan kepada pasangan suami-istri itu sebagai makanan mereka.
Kenyataan itu merangsang rasa ingin tahu Arung Pangi dan pengiringnya sehingga datang menghampiri pasangan suami-istri itu dan bertanya tentang asal-usulnya. Jawaban yang diperoleh bahkan menimbulkan pemikiran mitis, karena mereka hanya menyatakan bahwa mereka tinggal di puncak gunung ini atas kehendak sang Dewata, dan asal mula datangnya mereka itu sama seperti orang yang lain dari arah penjuru mata angin, barat, timur, selatan, atau utara. Arung Pangi selanjutnya menyuruh pengiringnya menyiapkan perbekalan yang dibawa untuk makan bersama termasuk mengajak pasangan suami-istri tersebut. Ajakan itu dijawab dengan ramah tama “silakan makan dan silakan gunakan air dalam tempayan itu. Kami tidak makan nasi tetapi hanya memakan ikan mentah yang dibawakan burung-burung itu”.
Jawaban itu menimbulkan pertanyaan siapa gerangan sesungguhnya pasangan suami-istri ini. Apakah mereka orang yang diturunkan dari dunia atas (boting langi) yang sering disebut Tumanurung karena berada di puncak gunung ataukah orang yang dimunculkan dari dunia bawah (paratiwi) melalui laut yang biasa disebut Tautompo karena hanya memakan ikan mentah. Persoalan itu yang mendorong Arung pangi dan pengiringnya menyebut pasangan suami istri itu To Sangiang. Setelah bersantap, Arung Pangi memohon pada To Sangiang itu untuk turun ke Gunung dan menetap di Pangi tetapi ajakan itu dijawab dengan mengatakan bahwa kami akan turun kelak jika Dewata mengizinkan. Lalu Arung Pangi pun minta pamit seraya berharap bahwa suatu saat nanti kita dipertemukan kembali.
Setelah Arung Pangi sampai di kerajaannya mereka pun memberitahukan kepada Arung Alekale, sehingga bersepakatlah Arung Pangi dan Arung Alekale untuk menemui Tosangiang dan mereka bertemu. Kemudian Arung Pangi menyampaikan kepada To Sangiang bahwa ia datang bersama kerabatnya Arung Alekale, yang juga berkeinginan untuk menjalin persahabatan. Arung Alekale menyambung pembicaraan itu dengan menawarkan kepada To Sangiang kiranya berkenan dapat tinggal di negerinya, dan menjalin hubungan kekeluargaan. Dengan demikian kita mendapatkan berkat dan rahmat Dewata. Namun To Sangiang merespon tawaran itu dengan jawaban seperti yang perna diutarakan kepada Arung Pangi sebelumnya. akhirnya mereka pulang kembali ke negeri tanpa disertai Tosangiang.
Hasrat Arung Pangi untuk mengajak turun To Sangiang akan segera terkabul sebab To Sangiang juga memiliki hasrat yang sama agar supaya anak perempuannya dapat dipersunting oleh putra Arung Pangi. Ketika hasrat To Sangiang disampaikan kepada Arung Pangi kala kunjungan pertemuan ketiganya, ditanggapi dan disambut dengan senang hati oleh Arung Pangi walaupun Arung Pangi tidak punya putra dengan menyatakan bahwa sangat gembira menerimanya, dan bermohon perkenaan untuk kembali dan kelak kembali untuk menjemput puterinya.
Arung Pangi dan pengiringnya kembali ke Pangi dan langsung mengirim utusan menyampaikan kepada Arung Alekale dan seluruh kerabat untuk berkumpul dan membicarakan tawaran To Sangiang. Hasil pertemuan keluarga itu adalah melamar dan menikahkan puteri To Sangiang itu dengan putera Arung Alekale. Berdasarkan kesepakatan itu berangkatlah rombongan ke tempat kediaman To Sangiang untuk melamar dan menikahkan putera Arung Alekale dengan puteri To Sangiang. Kehadiran rombongan Arung Alekale dan Arung Pangi itu disambut gembira sehingga rencana peminangan dan pernikahan juga langsung diselenggarakan. Arung Alekale memberi gelar Arung Riale-alena setelah menantunya tiba ke negerinya.
Keluarga To Sangiang setelah beberapa waktu pasca pernikahan anak putrinya, dengan anak putera Arung Alekake, mereka pun berhijrah untuk turun gunung dengan membawa istrinya dan anak putranya sebanyak tiga orang. Merekapun berkelana dari satu tempat ketempat lain untuk mencari daerah pemukiman yang baru dan bisa mendatangkan kemakmuran diantara mereka. Setelah lama memcari dan memilih daerah yang cocok akhirnya mereka memilih dan menetap pada suatu daerah yang disebutnya Rittampawali, kemudian ditempat itu mereka membuka lahan pertaniah sawah dengan sebutan La Ponrang. Keluarga ini semakin lama semakin senang dan makmur membuka lahan pertanian. Tetapi keharmonisan itu mulai terusik ketika anaknya yang sulung berselisi paham dan bertengkar dengan adiknya berkaitan dengan lahan yang mereka kerjakan dan alat yang mereka gunakan seperti bajak (rakkala) dan garu (salaga). Untuk mencegah pertikaian itu berlarut dan menimbulkan dampak negatif yang lebih keras, To Sangiang memerintahkan puteranya yang sulung pindah ke selatan dan mengolah lahan pertanian disekitar Gunung Sangaji dan adiknya pindah ke bagian utara di daerah Soga. Sementara puteranya yang bungsu tetap tinggal bersama orang tuanya.
Solusi yang ditempuh To Sangiang untuk memisahkan anaknya didalam penggarapan lahan dan peralatan ternyata tidak menjamin terciptanya ketemtraman dan kedamaian diantara mereka, terbukti ketika sang kakak datang merusak lahan pertanian dan peralatan yang dipakai adiknya. Tindakan itu menimbulkan amarah sang adik maka terjadi lagi pertengkaran dan perselisihan. Kondisi perselisihan itu bukan hanya mengecewakannya tetapi juga mendorong sang ayah memandang bahwa tempat ini sesungguhnya bukan tempat yang pantas bagi keluarganya sehingga berniat untuk meninggalkannya dan mencari tempat yang baru.
Akhirnya disepekati untuk pindah ke tempat yang baru, dekat dengan daerah pesisiran. Tempat itu dinamai La Poncing. To Sangiang membuka areal persawahan yang dinamai La Mangngade, sementara puteranya yang sulung membuka lahan pertanian sawah di bagian selatan sawah ayahnya (selatan La Mangngade), putera keduanya membuka sawah di daerah Ujungnge, dan putera bungsunya membuka lahan pertanian sawah di Samaran. Kemudian keseluruhan lahan itu diberinya nama Arung Nionjo, yang kemudian berubah dan diabadikan menjadi kerajaan Agangnionjo. Kehidupan mereka tentram dan memperoleh hasil usaha yang berlimpah karena seluruh lahan kosong berhasil dikelola menjadi lahan poertanian. Mereka bersyukur bahwa di tempat pemukiman yang baru ini mereka boleh mendapatkan rezeki yang halal dari sang Dewata.
Kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kehormonisan itu ternyata tidak dapat dipertahankan terus. Berselang beberapa tahun kemudian terjadi lagi pertengkaran dan perselisihan antara puteranya yang sulung dengan adiknya. Pertengkaran dan perselisihan itu semakin hari semakin meningkat intensitasnya dan mengarah pada tindakan kekerasan untuk saling membunuh. Solusi yang dilakukan oleh To Sangian seperti tempo yang lalu agaknya masih kurang memuaskan sehingga To Sangiang mencari solusi yang lain.
Namun uniknya solusi yang dilakukan ini juga sangat berbeda pada kenyataan proses penyelesaian konflik atau khaos internal untuk mencapai kedamaian, ketemtraman dan kemakmuran bersama di Sulawesi Selatan, yaitu munculnya konsep Tu Manurung sebagai juru selamat yang kebanyakan terjadi pada kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Dimana To Sangian hanya mencari bantuan kepada raja Sigeri (Karaeng Sigeri). Yang ketika itu menjabat sebagai Karaeng Sigeri adalah seorang keponakan dari Raja Gowa X, I Manriwa Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565). Ketika To Sangiang meminta bantuan tersebut Karaeng Sigeri menerima baik tawaran itu dan menyatakan bersedia membantu menyelesaikan perselisihan yang terjadi di Angangnionjo akan tetapi tidak seketika itu juga memenuhi permintaan itu oleh karena ketika itu rakyatnya telah memulai mengolah lahan pertanian.
Apa yang dilakukan oleh Karaeng Sigeri untuk tidak lansung ke Agangnionjo untuk menyelesaikan perselisihan itu karena dalam tradisi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Sigeri dan Tanete pada khususnya bahwa keberhasilan suatu usaha pertanian maupun perikanan ditentukan oleh perilaku politik pemimpin dan aparat pemerintahannya. Jika penguasa dan aparat pemerintahannya berperilaku yang baik dan mengayomi rakyatnya maka pasti hasil pertanian dan perikanan akan melimpah, dan jika sebaliknya maka kegagalan yang akan dicapai. Disini juga mengisyaratkan bahwa kepatuhan dan loyalitas rakyat sangat ditentukan baik tidaknya perilaku raja. Itulah sebabnya dalam masyarakat ini terdapat ungkapan kepada penguasa yang menyatakan “ jika panen gagal dan ikan menghilang dari perairan maka sayangilah dirimu sendiri “, yang maksudnya adalah jika usaha pencarian nafkah rakyat tidak berhasil berarti penguasa dan aparatnya telah melakukan perbuatan tercelah sehingga rakyat pasti akan meninggalkan mereka. Maka dengan demikian raja diharapakan supaya menyelamatkan, menjaga dan menyayangi dirinya sendiri agar ketemtraman dan kemakmuran bersama selalu hadir dan melekat pada semua rakyat atas izin Dewata.
Setelah selesai panen di Sigeri sebagaimana janji Karaeng Sigeri untuk datang di Agangnionjo dalam menyelesaikan perselisihan yang mengara keperkelahihan saling membunuh. Akhirnya Karaeng Sigeri memenuhi janjinya dan berkunjung ke Agangnionjo. Dalam menangani perselisihan itu Karaeng Sigeri mengambil langkah-langkah yang bersifat persuasif. Langkah dan strategi penyelesaian persoalan persengketaan dan perselisihan itu memberi hasil yang mengembirakan karena berbagai pihak yang bersengketa merasa puas dan menerima tawaran perdamaian. Sebagai tanda ucapan terima kasih dan keinginan untuk mendekatkan kerajaan Sigeri dengan Agangnionjo, merekapun bersepakat untuk saling melengkapi dan bekerja sama dan atas saran Karaeng Sigeri supaya Agangnionjo juga menjalin hubungan baik kepada kerajaan Makassar (Gowa-Tello) Karena ia sendiri adalah keluarga penguasa Kerajaan Gowa. Setelah menyelesaikan perselisihan itu Karaeng Sigeri beserta pengiringnya memohon diri kembali ke negerinya.
Atas keberhasilan Karaeng Sigeri menyelesaikan perselisihan di Agangnionjo itu tidak hanya memberikan kepuasan dan kegembiraan To Sangiang dan kerabatnya tetapi juga kagum atas kepemimpinannya. Oleh karena itu, To Sangiang bersama warga Agangnionjo pada umumnya bersepakat untuk memohon kepada Karaeng Sigeri agar bersedia menetap di Agangnionjo dan sekaligus menjadi Raja Agangnionjo. Kemudian rencana itu dilakukan dengan mengutus To Sangiang sendiri bersama istrinya menemui dan menyampaikan keinginannya bersama semua warga Agangnionjo itu.
Apa yang menjadi keinginan To Sangiang itu ternyata Karaeng Sigeri bersedia menerima amanah itu. Karaeng Sigeri dan pembesar-pembesar kerajaan termasuk permaisuri mempersiapkan diri dan berangkat bersama dengan diiringi pula dengan sejumlah matowanya ke Agangnionjo dan menetap dikediaman Ta Sangiang di BatuleppanaE (La Ponceng). Pelantikanpun segera dilaksanakan yang disaksikan oleh semua warga masyarakat Agangnionjo termasuk mengundang Arung Pangi dan Arung Alekale. Dalam rangkaian pelantikan itu pula To Sangiang menyampaikan permohonan atas nama Masyarakat Agangnionjo bahwa: “kami semua keluarga dan kerabat memohon diberkati, dikasihani, dan tidak putus-putusnya dilindungi oleh paduka raja tuanku, seperti haknya dengan orang-orang Sigeri“. To Sangiang melantik Arung Sigeri menjadi raja Agangnionjo yang pertama dengan diberi gelar Datu GollaE (1552-1564).
Setelah pelantikan itu, dibangunkanlah istana untuk Datu GollaE pada areal perbukitan di daerah La Ponceng. Sebagai tanda kehormatan dan kesetiaan pada raja, para ketua kaum, Arung Pangi dan Arung Alekale, dan keluarga To Sangiang datang menghantarkan persembahan (kasuwiyang). Persembahan atau kasuwiyang itu yang umumnya merupakan hasil produksi rakyat itu tidak hanya memiliki nilai ekonomis bagi penguasa tetapi juga terkandung nilai relegius yang menempatkan sang penguasa sebagai pemengang kendali politik yang dianugerahkan Dewata untuk memimpin rakyatnya hidup dengan tentram dan sejahtera. Dalam masyarakat tradisional seorang raja (penguasa) dipandang pula memiliki dan menguasai kekuatan-kekuatan supernatural yang mampu dimanfaatkan untuk menciptakan tertib alam sehinggan memungkinkan keberhasilan usaha rakyatnya baik dalam bidang pertanian maupun bidan perikanan.
Karaeng Sigeri dalam melaksanakan roda pemerintahannya di Agangnionjo, dia membentuk perwakilan pemerintahan dengan sebutan Pangara-Wampang Puang Lolo Ujung yang diberikan kepada anak tertua To Sangian. Agangnionjo pada masa itu mengalami perkembangan dan kemajuan serta kemakmuran yang sangat pesat. Setelah puluhan tahun lama Dutu Gollae memerintah, diapun menemui ajalnya dan digantikan oleh Pangara-Wampang Puang lolo Ujung. Tetapi baru saja satu tahun dia memerintah dan mengendalikan kerajaan Agangnionjo, dia mendapat cobaan yang sangat besar karena tanaman pada mati dan ikanpun berkurang sehingga rakyat menderita kelaparan yang hebat. Pangara-Wampang ini sangat menyesal menjadi raja karena dia merasa bukan keturunan raja sampai dia pergi mengasingkan diri dan mengundurkan diri. Akhirnya dia digantikan oleh MantinroE ri Ribokokajurugna yang masih keturunan Datu GollaE.
Tanaman dan perikananpun hasilnya kembali meningkat sehingga masyarakat Agangnionjo kembali menjadi makmur pula. Raja ini memerintah agak lama sampai dia menemui ajalnya dan digantikan oleh Raja Daeng Ngasseng yang mengikuti jejak MantiroE ri Bokokajurugna. Pada masa ini dibentuk jabatan pabbicara yang dijabat oleh La pammuda keturunan To Sangiang. Pada Masa ini pula terjadi Perang Agangnionjo, yaitu perang antara kerajaan Agangnionjo dengan Addatuang (Raja) Sawitto yang mula-mula ingin datang menentang kerajaan Gowa atas berbagai kebijakannya yang dianggap tidak banyak menguntungkan kerajaan Sawitto tetapi pasukan mereka dinasehati oleh raja Agangnionjo supaya jangan melanjutkan tujuannya ke Gowa untuk berperang. Nasehat itu tidak diperdulikan dan bersikuku untuk tetap ke Gowa sehingga perangpun tidak bisa dikendalikan dan berlansung beberapa hari. Atas kemenangan Perang itu, Agangnionjo diberi peridikat kerajaan sekutu saudara dan diberi berbagai kemudahan dan kebebasan perdagangan termasuk bea-bea perdagangan.
Pada masa pemerintahan Daeng Ngasseng, orang-orang Malaka, Melayu dan Minagkabau berdatangan mencari tempat tinggal dan menetap dalam daerah kerajaan Agangnionjo. Ketika dia memerintah beberapa tahun dengan kemajuan yang sangat pesat diapun menemui ajalnya dengan tenang dan digantikan oleh To ri Jallo ri Addenenna (tidak diketahui nama aslinya). Tidak lama kemudian diapun menemui ajalnya dan digantikan oleh Daeng Sinjai (tidak diketahui nama lengkapnya). Dia raja yang sangat terkenal karena kejujuran dan kepintarannya, suka bermusyawarah dengan pembesar-pembesar kerajaan termasuk punya hobi berburu. Masa pemerintahan Daeng Sinjai ini penduduk Agangnionjo semakin meningkat seiring dengan peningkatan dan kemajuan kemakmuran. Setelah beliau wafat, dia digantikan oleh To Maburu Limanna. Tumaburu Limananna (1597-1603) menduduki takta kerajaan mengantikan Daeng Sanjai.
Meskipun ia adalah raja yang mewariskan kekayaan dan kemakmuran yang dihasilkan berkat kerja dan karier pendahulunya, namun tetap terus bergiat memajukan ketentraman dan kesejahtraan rakyat. Oleh karena itu, sebagai pelanjut pemerintahan, ia sangat memperhatikan aktivitas penduduknya baik dalam kegiatan pertanian, perikanan dan peternakan, maupun dalam dunia perdagangan maritim. Kegiatan perdagangan maritim kerajaan ini berkembang pesat dan bahkan tampil menjadi penyanggah utama dalam mensuplai kebutuhan pangan, seperti beras dan ternak potong bagi penduduk dan perdagangan Makassar. Kemajuan yang dicapai itu bukan karena mendapat hak istimewa, dalam bentuk bebas pajak pelabuhan dan pajak perdagangan dari pemerintah Makassar, tetapi juga terutama didukung oleh produksi negerinya. Selain itu juga tidak ada pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi yang berkembang, sejak Karaeng Tunipalangga Ulaweng melancarkan ekspedisi penaklukan dan mengangkat orang dan barang dari kerajaan-kerajaan yang terlibat dalam dunia perdagangan maritim ke Makassar. Jauh sebelumnya dapat dicatat antara lain pelabuhan Siang, Bacokiki, Suppa, dan Nepo.
Keterlibatan dalam dunia perdagangan maritim itu berhasil memikat banyak pedangan berkunjung ke bandar niaganya, termasuk pedangan Portugis. Di daerah ini pedangan Portugis dikenal dengan sebutan Parengki. Kelompok pedagan ini juga mendapat izin dari raja mendirikan lojinya dipemukimannya yang dikenal dengan sebutan Laparengki, yang terletak sebelah selatan hulu Sungai Lajari. Kehadiran pedangan Portugis itu tentu bukan berkaitan dengan perdangangan rempah-rempah, tetapi terutama pada produksi pangan dari kerajaan ini, seperti beras dan ternak potong. Selain itu juga pada periodenya datang satu perahu dagang dari Johor yang membawa puteri raja Johor, yang melarikan diri karena terjadi perebutan kekuasaan di negerinya. Rombongan puteri Johor itu diterima dengan senang hati dan diberikan tempat pemukiman yang disebut Pancana.
Meskipun kerajaan ini berhasil membangun dan mengembangkan bandar niaga dan terlibat dalam perdagangan maritim, namun demikian tetap menjalin hubungan komersialnya dan hubungan persekutuannya dengan kerajaan Makassar. Oleh karena itu setiap tahun raja Agangnionjo melakukan kunjungan kerajaan ke Sombaopu. Pada suatu kunjungannya ke Sombaopu, datang pula Opu Tanete (Selayar) menghadap raja Makassar yang menyampaikan bahwa ia datang membawa duni (peti mayat) yang berisi jenazah putera raja Luwu yang bernama LasoE, yang mati terdarmpar akibat perahu daganganya tenggelam di perairan Selayar. Sehungan dengan itu raja Makassar memohon kepada Tomaburu Limananna, kiranya bersedia menemani Opu Tanete bersama pengiring jenazahnya untuk mengantar jenazah itu. Peti jenazah itu dijaga bersama oleh pengiring mereka masing-masing, sambil mempersiapkan tenaga untuk mengusung peti jenazah itu ke tempat tujuan.
Dalam merancang pengusungan jenazah itu dicapai kesepakatan untuk menetapkan bahwa iring-iringan itu adalah iring-iringan Kerajaan Tanete, meskipun dikawal oleh raja Anangnionjo dan Opu Tanete (Selayar). Tampaknya dua pengiring dengan satu nama itu menumbuhkan rasa persaudaraan diantara mereka dan memang atas saran raja Gowa supaya mereka dipersaudarakan. Oleh karena itu sekembali dari Luwu, dua raja itu berikrar membentuk persekutuan dan persaudaraan yang isi pokoknya adalah: “ jika rakyat Agangnionjo bepergian ke Tanete (Selayar) maka dia menjadi orang Tanete, demikian pula sebaliknya. Juga bila armada raja Agangnionjo berada di perairan Tanete (Selayar), meskipun dalam keadaan tergesah-gesah, wajib singgah walaupun hanya sejenak, demikian pula sebaliknya dan sejak itulah nama Kerajaan Agangnionjo di ubah menjadi Kerajaan Tanete.
Dalam perkembangan kemudian nama ini dipandang lebih cocok digunakan untuk menyebut nama Agangnionjo karena ketika itu wilayah Kerajaan Agangnionjo juga sudah tidak hanya mencakup wilayah awal kerajaan itu. Wilayah kerajaan pada periode To Maburu Limananna telah meliputi: Alekale, Punranga, Tinco, Ajangbulu, Dengedenge, Gattareng, Barang, Salompuru, Wanuwa Waru, Pange, Pangi, Beruru, Lemo, Belleyanging, Reya, Mameke, Ampiri, Balenrang, Salomoni, Boli dan Cenekko. Sementara beberapa daerah yang digabungkan kepada Tanete adalah: Lipukasi, Lalolang, Paopao, Palluda, Laponccing, dan Lembang. Sementara daerah yang bernaung pada Pancana adalah Baramase.
Raja ini tergolong raja yang sangat murah hati dan mengasihi rakyatnya. Dia dikenal senang dan suka menolong orang yang mengalami kesusahan, baik itu rakyatnya maupun abdi dalamnya. Itulah pula sebabnya ia membebaskan para tahanan raja Torijallo ri Adenenna dan diberikan tempat pemukiman bagi mereka. Tempat pemukinan itu diberi nama Lipukasi. Sikap murah hati itu menyebabkan raja ini sangat disenangi dan dicintai oleh rakyatnya.

Referensi
1. Basrah Gising, Basra, 2002, Sejarah Kerajaan Tanete, Makassar: sama Jaya Makassar
2. Makarausu Amansyah, Pengaruh Islam Dalam Adat Istiadat Bugis Makassar, Dalam Bingkisan (thn II, no. 5)
3. Patunru, Abdurrazak Daeng, 2004, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Makassar, Pusat Kajian Indonesia Timur bekerja sama dengan lembaga penerbitan Unhas
4. Syarief Longi (editor), 2001, Kerajaan Agangnionjo (Tanete), Proyek Pengadaan Sarana Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Barru tahun Anggaran 2001
5. Edward L. poelinggomang, tahun anggaran 2005, Sejarah Tanete Dari Agangnionjo Hinnga kabupaten Barru, Pemerintah Kabupaten Barru
6. Sartono Kartodirdjo, 1988, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, jilid I, Gramedia, Jakarta
7. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI): Jakarta, Arsip Makassar
8. Bahan Kuliah, Sejarah Lokal oleh Pak Suriadi Mappangara, M.Hum.
9. Heddy Shri Ahimsa Putra, 1988, Minawang: Hubungan Patron-Klien Di Sulawesi Selatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
10. G.K. Nieman, 1883, Geschiedenis Van Tanete, S-Gravenhage, Martinus Nijhoff,

Pasompe dan Spirit Bahari


”PASOMPE”
DAN SPIRIT BAHARI YANG TELAH PERGI

Oleh Dwi As Setianingsih dan Subhan SD

Ketika sejumlah pulau di perbatasan “dikuasai” orang asing, kita dengan tiba-tiba saja kebakaran jenggot. Padahal, sebagai bangsa bahari, sudah terlalu lama sektor kelautan kita lupakan, bahkan kita tinggalkan di belakang, entah di mana.
Pulau Sipadan-Ligitan, dan kemudian Ambalat, dipersengketakan dengan Malaysia. Kasus itu adalah ironi bagi bangsa bahari terbesar seperti Indonesia. Padahal, Indonesia selalu kita ibaratkan sebagai zamrud khatulistiwa dengan untaian pulau- pulau yang menawan.
Kita telah melupakan semua itu. Bahkan etnik yang di masa lampau terkenal sebagai penjelajah samudra, kini tak mudah ditemui. Semangat bahari ulung yang menjadi identitas suku-suku itu, kini boleh dikata telah luntur. Orang- orang Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya Bugis-Makassar, kini telah kehilangan spirit kebahariannya.
Abdul Rahman, seorang nelayan di Pelabuhan Paotere, Makassar, mengakui, masa kejayaan orang Bugis-Makassar sebagai pelaut andal, kini telah terkikis. Sudah tidak banyak lagi orang Bugis-Makassar yang melaut hingga jauh ke negeri seberang untuk berdagang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pria yang hampir empat juta jiwa, yang menjadi nelayan hanya sekitar 340.000 orang (8,5 persen).
“Dulu, orang Bugis-Makassar sangat terkenal di lautan. Mereka menguasai aktivitas perdagangan laut dan dikenal sangat pemberani menjelajah lautan hingga ribuan mil,” kata Rahman, Ketua Koperasi Insan Perikanan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Paotere, Makassar. Keberanian orang Bugis-Makassar mengarungi lautan sudah terbukti, meskipun dengan perahu kecil jolloro yang hanya bisa memuat tiga orang. Dengan jolloro, etnis ini berani berlayar sampai ke perairan Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Menapaki jejak sejarah, Phinisi Nusantara mampu berlayar menembus gelombang besar di Pasifik hingga tiba di Vancouver, Kanada, 1986. Di Sulsel, memang rutin berlangsung sandeq race (perahu asli orang Mandar —yang juga pelaut ulung dan kini masuk Sulawesi Barat) dari Polewali hingga Makassar. Tetapi, ekspedisi keliling dunia sandeq --- yang didukung beberapa negara ---tahun 2005 lalu gagal setelah tak mampu menembus perairan Kepulauan Solomon.
Kegiatan seperti itu hanya sekadar pemanis kisah. yang sejatinya, kini kehidupan orang Bugis-Makassar tidak lagi mengandalkan laut sebagai ladang penghidupan. Kini, aktivitas di daratan lebih menjanjikan dan membawa harapan.

Terjun ke laut
Berkurangnya minat generasi sekarang untuk terjun ke laut diakui H Muslim Baso, pengusaha pembuatan kapal kayu tradisional di Tanah Beru, Bulukumba. Menurut dia, anak-anak muda kini kian enggan berkarya di laut. “Anak saya tak ada yang mau mengikuti jejak saya di sektor kelautan. Mereka lebih senang bekerja di darat sebagai pegawai kantoran,” katanya.
Muslim Baso pun mulai mengkhawatirkan usaha pembuatan kapal rakyat di Tanah Beru, termasuk usaha yang dirintis orangtuanya berpuluh tahun silam. Dia tak tahu berapa lama lagi usaha turun-temurun itu bisa hidup. “Masa kejayaan orang Bugis-Makassar di lautan kini tinggal kenangan,” kata sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward Poelinggomang, yang juga pakar sejarah maritim Makassar.
Sungguh tragis. Apalagi mengenang kisah-kisah petualangan bahari orang-orang Bugis- Makassar berabad-abad silam yang mewarnai sejarah negeri ini. Kedatuan Luwu (abad VIII- XX) boleh jadi imperium kuat sezaman dengan Sriwijaya (VII- XII), Majapahit (XII-XVI). Sejak abad-abad silam, orang-orang dari Luwu telah berperahu mengarungi lautan hingga ke Malaya. Ekspedisi Sawerigading yang bahkan sampai ke China dan India, jadi legenda hidup.
Penjelajahan orang Bugis-Makassar bukan saja menguasai Sulawesi (Celebes), Kalimantan (Borneo), Sumatera (Andalas), Timor, Maluku, Ternate, bahkan menancapkan pengaruh di sejumlah kawasan seperti China, Malaysia, Filipina, Kamboja, Afrika, Pasifik, dan Australia.
Di masa Kerajaan Gowa (sejak abad XIII), terutama di masa antara Sultan Alauddin hingga cucunya, Sultan Hasanuddin, laut kawasan timur Nusantara selalu diramaikan orang-orang Bugis-Makassar. Di abad XVII, Makassar menjadi bandar yang amat ramai. Makassar menjadi titik tengah persilangan jalur perdagangan laut antara Malaka dan Maluku.
Armada (dagang) laut Gowa tak mampu diimbangi VOC Belanda. Ketika VOC mencoba menerapkan politik hegemoni atas wilayah laut dengan meminta Gowa membantu menyerang lawan-lawan VOC dalam jalur perdagangan rempah-rempah, Sultan Alauddin dengan tegas mengatakan, “Tuhan menciptakan tanah dan laut. Tanah dibagikan-Nya untuk manusia, dan laut adalah milik bersama.”
Di zaman Kolonial Belanda, kata Edward Poelinggomang, campur tangan pihak kolonial sejak tahun 1906 menghambat sepak terjang saudagar Bugis-Makassar dalam melakukan aktivitas perdagangan laut sekaligus memberlakukan pelabuhan yang tidak lagi bebas bea. Itulah, tandasnya, yang menjadi pintu gerbang bagi keruntuhan kejayaan orang Bugis-Makassar dalam perdagangan laut.
“Karakter orang Sulsel tidak mau banyak aturan. Ditambah semakin banyaknya kapal api yang beroperasi dengan kapasitas muatan yang besar, perlahan namun pasti meminggirkan orang Bugis-Makassar dari arena perdagangan laut,” paparnya.
Bertambah runyam, karena konsentrasi aktivitas pelabuhan kemudian dipindahkan ke Jakarta, Semarang, dan Surabaya yang terus berlanjut hingga kini. Tradisi mengarungi lautan itu tak lepas dari kultur yang subur di lingkungan masyarakat Sulsel yang dikenal sebagai pasompe. Secara harfiah bermakna merantau, biasanya kategori pelaut-pedagang.

Berdagang antarpulau
Menurut Prof Abu Hamid, antropolog Unhas, pasompe umumnya saudagar yang berdagang antarpulau. Biasanya pada musim kemarau (timo), mereka berlayar ke barat. Sedangkan pada musim angin dan hujan (bare) mereka kembali ke kampungnya (ke arah timur).
Menurut Abu Hamid, dalam Pasompe, Pengembaraan Orang Bugis, sejak kejatuhan Gowa di abad XVII itu, kerajaan itu didesak untuk mengubah kegiatannya di daratan, berpaling dari aktivitas utamanya selama ini di laut. Gowa dipaksa menjadi kerajaan agraris, melepaskan kejayaan maritimnya. Sejak itulah, pasompe yang dilakukan penduduk mulai dilakukan karena terdesak di kampungnya.
Bukan hanya penduduk, para tokoh juga hijrah dari kampung mereka karena ancaman VOC. Karaeng Galesong, salah satu Panglima Gowa, misalnya, pergi ke Jawa. Dia malah menjadi “penguasa” Laut Jawa dan Selat Makassar, dan bahkan berkoalisi dengan Trunojoyo melakukanperlawanan terhadap Belanda.
Tak ubahnya di daratan, pasompe menjadi komunitas tersendiri. Perahu menjadi sebuah desa, yang memiliki aturan dan tata tradisi. Nakhoda adalah kepala desa. Setiap pasompe harus menghormati aturan-aturan yang diberlakukan. Mereka harus bekerja sama. Mereka pantang untuk bertengkar di lautan.
Oleh karena itulah, peran seorang nakhoda (juragan) amat penting. Dia harus menjadi pemimpin yang berwibawa dan bisa menaungi semua sawi-nya (anak buah atau penumpang). Larangan berselisih ini juga berlaku untuk istri-istri pasompe yang ditinggal di kampung.
Pasompe tak hanya punya keberanian menghadang badai di tengah lautan, tetapi juga harus dibekali ilmu pengetahuan menyangkut astronomi, sistem navigasi, dan ilmu kelautan. Ilmu astronomi mutlak dikuasai. Misalnya memahami posisi bintang-bintang di langit yang bisamemengaruhi perubahan alam, seperti angin badai, hujan, petir, dan sebagainya.
Para pasompe juga harus menguasai pengetahuan kelautan. Tanpa alat-alat modern, mereka hanya mengandalkan pengetahuan tradisional, seperti penglihatan (pakkita), penciuman paremmau), pendengaran (parengkalinga), firasat (penedding), dan keyakinan (tentuang). Dengan mengandalkan indera itu, pasompe bisa mengendus bahwa angin hitam di sebelah barat yang tiba-tiba menghilang dan cerah, itu pertanda datangnya angin kencang dan amat membahayakan.
“Orang Bugis-Makassar zaman dulu sepertinya tidak pernah takut dengan apa pun yang terjadi di laut. Mungkin karena mereka dibekali dengan ilmu-ilmu alam untuk mengatasi bahaya di laut”, kata Rahman.
Sekarang ini persoalannya apakah spirit dan kultur pasompe itu masih tersisa? Semangat melaut orang Bugis-Makassar, ujar Rahman, kini lebih banyak diterjemahkan dengan bahasa menjadi nelayan.
“Semangat orang Bugis-Makassar untuk menaklukkan laut ada di tangan generasi muda yang kini memilih menjadi nelayan. Sebagian yang mampu menguasai rantai perdagangan ikan berhasil menjadi nelayan sukses,” tambah Edward Poelinggomang.
Sumber: Kompas, 12 Juni 2005

Senin, 03 September 2007

Andi Djemma

Pahlawan Nasional
Andi Djemma

Lahir di Palopo, 15 Januari 1901. Beliau adalah seorang tokoh Indonesia, ia dinyatakan selaku Pahlawan Nasional oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 8 November 2002.
Wilayah kekuasaannya hanya menjadi setingkat kabupaten setelah beberapa wilayahnya memisahkan diri menjadi kabupaten, misalnya Palopo dan Tana Toraja, semuanya masih di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan Kolaka menjadi sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara.
Menjelang kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus 1945, Djemma bahkan memimpin 'Gerakan Soekarno Muda' dan memimpin Perlawanan Semesta Rakyat Luwu pada 15 Januari 1946. Tanggal itu sekarang diperingati sebagai Hari Perlawanan Rakyat Semesta.
Pada 5 Oktober 1945, Djemma sempat mengultimatum pihak Sekutu agar segera melucuti tentaranya dan kembali ke tangsinya di Palopo. Ultimatum itu dibalas Gubernur Jenderal Belanda, Van Mook, dengan ultimatum juga. Andi Djemma yang mempunyai lima putera itu baru tertangkap Belanda pada 3 Juli 1946 dan diasingkan ke Ternate. Ia akhirnya meninggal di Makassar pada 23 Februari 1965.
Sumber: Wikipedia.

Cerita Rakyat Tana Luwu

Putri Tandampalik
Dahulu, terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau Sulawesi. Negeri Luwu dipimpin oleh seorang raja yang bernama La Busatana Datu Maongge, sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Karena sikapnya yang adil, arif dan bijaksana, maka rakyatnya hidup makmur. Sebagian besar pekerjaan rakyat Luwu adalah petani dan nelayan. Datu Luwu mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik, namanya Putri Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah diketahui orang banyak. Termasuk di antaranya Raja Bone yang tinggalnya sangat jauh dari Luwu.
Raja Bone ingin menikahkan anaknya dengan Putri Tandampalik. Ia mengutus beberapa utusannya untuk menemui Datu Luwu untuk melamar Putri Tandampalik. Datu Luwu menjadi bimbang, karena dalam adatnya, seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain. Tetapi, jika lamaran tersebut ditolak, ia khawatir akan terjadi perang dan akan membuat rakyat menderita. Meskipun berat akibat yang akan diterima, Datu Lawu memutuskan untuk menerima pinangan itu. "Biarlah aku dikutuk asal rakyatku tidak menderita," pikir Datu Luwu.
Beberapa hari kemudian utusan Raja Bone tiba ke negeri Luwu. Mereka sangat sopan dan ramah. Tidak ada iringan pasukan atau armada perang di pelabuhan, seperti yang diperkirakan oleh Datu Luwu. Datu Luwu menerima utusan itu dengan ramah. Saat mereka mengutarakan maksud kedatangannya, Datu Luwu belum bisa memberikan jawaban menerima atau menolak lamaran tersebut. Utusan Raja Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun pulang kembali ke negerinya.
Keesokan harinya, terjadi kegaduhan di negeri Luwu. Putri Tandampalik jatuh sakit. Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan Putri Tandampalik terserang penyakit menular yang berbahaya. Berita cepat tersebar. Rakyat negeri Luwu dirundung kesedihan. Datu Luwu yang mereka hormati dan Putri Tandampalik yang mereka cintai sedang mendapat musibah. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan anaknya. Karena banyak rakyat yang akan tertular jika Putri Tandampalik tidak diasingkan ke daerah lain. Keputusan itu dipilih Datu Luwu dengan berat hati. Putri Tandampalik tidak berkecil hati atau marah pada ayahandanya. Lalu ia pergi dengan perahu bersama beberapa pengawal setianya. Sebelum pergi, Datu Luwu memberikan sebuah keris pada Putri Tandampalik, sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan apalagi membuang anaknya.
Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan sebuah pulau. Pulau itu berhawa sejuk dengan pepohonan yang tumbuh dengan subur. Seorang pengawal menemukan buah Wajao saat pertama kali menginjakkan kakinya di tempat itu. "Pulau ini kuberi nama Pulau Wajo", kata Putri Tandampalik. Sejak saat itu, Putri Tandampalik dan pengikutnya memulai kehidupan baru. Mereka mulai dengan segala kesederhanaan. Mereka terus bekerja keras, penuh dengan semangat dan gembira.
Pada suatu hari Putri Tandampalik duduk di tepi danau. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampirinya. Kerbau bule itu menjilatinya dengan lembut. Semula, Putri Tandampalik hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya ia diamkan saja. Ajaib! Setelah berkali-kali dijilati, luka berair di tubuh Putri Tandampalik hilang tanpa bekas. Kulitnya kembali halus dan bersih seperti semula. Putri Tandampalik terharu dan bersyukur pada Tuhan, penyakitnya telah sembuh. "Sejak saat ini kuminta kalian jangan menyembelih atau memakan kerbau bule, karena hewan ini telah membuatku sembuh", kata Putri Tandampalik pada para pengawalnya. Permintaan Putri Tandampalik itu langsung dipenuhi oleh semua orang di Pulau Wajo hingga sekarang. Kerbau bule yang berada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak.
Di suatu malam, Putri Tandampalik bermimpi didatangi oleh seorang pemuda yang tampan. "Siapakah namamu dan mengapa putri secantik dirimu bisa berada di tempat seperti ini?" tanya pemuda itu dengan lembut. Lalu Putri Tandampalik menceritakan semuanya. "Wahai pemuda, siapa dirimu dan dari mana asalmu?", tanya Putri Tandampalik. Pemuda itu tidak menjawab, tapi justru balik bertanya, "Putri Tandampalik maukah engkau menjadi istriku?". Sebelum Putri Tandampalik sempat menjawab, ia terbangun dari tidurnya. Putri Tandampalik merasa mimpinya merupakan tanda baik baginya.
Sementara, nun jauh di Bone, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu. Ia ditemani oleh Anre Paguru Pakanranyeng Panglima Kerajaan Bone dan beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota tidak sadar kalau ia sudah terpisah dari rombongan dan tersesat di hutan. Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara hewan malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di kejauhan, ia melihat seberkas cahaya. Ia memberanikan diri untuk mencari dari mana asal cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah perkampungan yang letaknya sangat jauh. Sesampainya di sana, Putra Mahkota memasuki sebuah rumah yang nampak kosong. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik sedang menjerang air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik.
"Mungkinkah ada bidadari di tempat asing begini?", pikir putra Mahkota. Merasa ada yang mengawasi, Putri Tandampalik menoleh. Sang Putri tergagap, "rasanya dialah pemuda yang ada dalam mimpiku", pikirnya. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik merasa pemuda yang kini berada di hadapannya adalah seorang pemuda yang halus tutur bahasanya. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun tetapi tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung menaruh hati.
Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Putra Mahkota kembali ke negerinya karena banyak kewajiban yang harus diselesaikan di Istana Bone. Sejak berpisah dengan Putri Tandampalik, ingatan sang Pangeran selalu tertuju pada wajah cantik itu. Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anre Guru Pakanyareng, Panglima Perang Kerajaan Bone yang ikut serta menemani Putra Mahkota berburu, mengetahui apa yang dirasakan oleh anak rajanya itu. Anre Guru Pakanyareng sering melihat Putra Mahkota duduk berlama-lama di tepi telaga. Maka Anre Guru Pakanyareng segera menghadap Raja Bone dan menceritakan semua kejadian yang mereka alami di pulau Wajo. "Hamba mengusulkan Paduka segera melamar Putri Tandampalik", kata Anre Guru Pakanyareng. Raja Bone setuju dan segera mengirim utusan untuk meminang Putri Tandampalik.
Ketika utusan Raja Bone tiba di Pulau Wajo, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahandanya ketika ia diasingkan. Putri Tandampalik mengatakan bila keris itu diterima dengan baik oleh Datu Luwu berarti pinangan diterima. Putra Mahkota segera berangkat ke Kerajaan Luwu sendirian. Perjalanan berhari-hari dijalani oleh Putra Mahkota dengan penuh semangat. Setelah sampai di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.
Datu Luwu dan permaisuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu Luwu merasa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Maka ia pun menerima keris pusaka itu dengan tulus. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi pulau Wajo untuk bertemu dengan anaknya. Pertemuan Datu Luwu dan anak tunggal kesayangannya sangat mengharukan. Datu Luwu merasa bersalah telah mengasingkan anaknya. Tetapi sebaliknya, Putri Tandampalik bersyukur karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular yang dideritanya.
Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Bone dan dilangsungkan di Pulau Wajo. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Beliau menjadi raja yang arif dan bijaksana.
Sumber: Buku Cerika Rakyat,
diterbitkan PT Bangun Satya Wacana (Gramacom) 2005

Pementasan Lagaligo

La Galigo:
Panggung Megah, Miskin Makna

Oleh Ratna Sarumpaet
Ketua Dewan Kesenian Jakarta

Dipentaskan perdana di Esplanade, Singapura, 12-13 Maret 2004, ditangani Robert Wilson, sutradara yang dianggap sebagai tonggak teater kontemporer dunia, I La Galigo, epik tua dari Sulawesi Selatan itu, sungguh telah melangkah memasuki pentas dunia.
Epik berbentuk puisi berangkai ini konon bila kelak terkumpul dan selesai dituliskan, akan berjumlah kurang lebih 6000 halaman. Namun kedahsyatan epik ini tentu saja tidak terletak hanya pada panjangnya halaman yang luar biasa, tapi justru pada muatan dan maknanya yang kaya. Ia memuat genesis Bugis, aturan-aturan kemasyarakatan, tata moral, pengobatan, hukum kelautan, juga berbagai prilaku manusia yang destruktif.
Tidak ada alasan dari jauh-jauh hari meragukan kehebatan pertunjukan ini menilik semua hal yang mendukungnya memang ‘hebat’; Nama besar Sutradaranya; Tata cahayanya yang canggih dan mahal; Biaya besar dan keterlibatan Change Performing Arts, Italia yang dikenal berhasil memproduksi berbagai pementasan bersekala Internasional. Sayang sekali, meski puisi berangkai I La Galigo memberi ruang keterbukaan interpretasi, adaptasi teks dan dramaturgi Rhoda Grauer sebagai penulis naskah justru tidak mampu mengungkap kelebihan dan kekuatan I La Galigo. Adaptasi Rodha yang lemah, dan diletakkan di atas pentas oleh Wilson, juga tanpa kemampuan menghayati kultur dimana I La Galigo berakar, membuat I La Galigo tidak lagi kisah yang dahsyat dan menggetarkan. Di atas pentas megah Esplanade, ia hadir sebagai cerita biasa, tanpa greget, tanpa pergolakan batin, nyaris tanpa makna dan miskin simbol.
Ketidakmampuan Rodha-Wilson menggali konflik yang di dalam teks termaknai begitu kaya terlihat ketika Sawerigading yang ditakdirkan sebagai simbol petarung daya hidup dan daya kalbu itu ditafsir harfiah sebagai ‘suka mengadu ayam’ dan ditampilkan di atas pentas benar-benar sebagai adegan adu ayam semata, kering dan kosong. Padahal dalam naskah I La Galigo, ayam adalah peliharaan penguasa langit. Dia adalah makna jiwa, bukan sekedar binatang aduan. Juga ketika Sawerigading bertemu saudara kembar perempuannya dan cinta datang tak terelakan. Tidak ada ketegangan antara passion/hasrat nekad dan kebijakan, antara daya kalbu dengan daya hidup, selain seorang lelaki canggung yang mendadak terjatuh, kaget oleh kecantikan perempuan. Bahkan prosesi penebangan pohon Welenrennge sebagai pohon pertama dibumi, yang memiliki potensi mengangkat nafas pertunjukan, justru semakin menguatkan ketidakmampuan Rhoda-Wilson menafsirkan dan mengadaptasi teks ke wilayah pertunjukan. Menyaksikan Sawerigading tampil dalam tarian sebagai tukang tebang kayu sungguhan makna pohon yang akarnya menjangkau langit dan bumi itu hilang begitu saja. Sama seperti hilangnya makna pelangi yang dalam kisah I La Galigo adalah alat transportasi, serta hilangnya makna guntur dan langit sebagai alat komunikasi. Padahal semua itu mengisyaratkan betapa kisah ini bisa sangat dahsyat jika divisualkan, meski tanpa teknologi canggih sekalipun.
Di awal, Wilson sebenarnya sudah dengan baik memberi pemaknaan dunia tengah di wilayah pemaknaan dunia alam pertunjukan sebagai imaji Bugis purba ke dalam imaji kecanggihan tata lampu. Ia menampilkan prosesi daya kalbu dan daya hidup yang bergerak sebagai kekuatan tenaga sunyi yang ‘menjadi’. Gulungan gemuruh gerak hidup yang ditampilkan oleh puluhan penari, lengkap dengan berbagai peralatan seperti alat pertanian, tenun sampai senjata perang, merupakan penyampaian tahapan pertumbuhan daya hidup manusia yang memikat dan bertenaga. Sayang sekali kekuatan itu berhenti di situ saja. Selanjutnya, pertunjukan secara keseluruhan hanyalah dunia pentas yang kosong dan tak bermakna. Energi kesakralan yang menjadi kekuatan utama I La Galigo hilang ditelan megahnya tata lampu canggih. Tersita oleh keinginan menjaga kerapian teknis. Menjaga keapikan hubungan sinyal musik dengan gerak tari patah. Para penari yang dilatih bertahun-tahun itu hanya mampu menyuguhkan serangkaian gerak mekanis tak bernyawa, tanpa kemampuan memaknai bahwa pilihan ‘menari dengan hati’ sesungguhnya berbeda dengan menari sebagai kemampuan penguasaan teknik.
Tidak adanya penjelasan baik di pentas, di buku program dan media-media publikasi yang diterbitkan, apakah I La Galigo yang ditampilkan itu adalah yang berasal dari Bugis yang beribukotakan Luwu, sebenarnya telah serta merta menunjukkan persiapan pementasan ini miskin penelitian, geologis maupun antropologis. Penyebutan Bugis di iklan raksasa The Strait Times tanpa menjelaskan apakah Bugis dimaksud adalah Bugis yang berdiri sendiri, atau Bugis yang milik Singapura, atau Bugis yang bagian dari Indonesia, juga menunjukkan kecerobohan mendudukkan I La Galigo sebagai mahakarya yang lahir di wilayah negeri ini. Pemahaman bahwa I La Galigo adalah milik dunia, tentu saja. Tapi bukan kebetulan Sulawesi Selatan, I La Galigo, Bugis, Luwu, berada di daratan Republik ini dan bukan di daratan Cina misalnya. Itulah yang membuat kita, negara, seniman, budayawan, termasuk para agen kesenian berkewajiban menghormati I La Galigo sebagai harta bangsa tak ternilai, yang harus dijaga.
Separuh dari penonton yang memadati Esplanade adalah penonton Indonesia: seniman, budayawan, pejabat, pengusaha, selebritis, termasuk seorang menteri yang datang dengan pesawat pribadi. Sebagai pementasan multiunsur, pasti ada banyak sisi yang secara terpisah-pisah bisa disukai atau dibenci penonton dari pertunjukan ini, dan itu terlihat dari gemuruh tepuk tangan penonton di akhir pertunjukan. Namun, adakah I La Galigo yang dipentaskan di Esplanade dan segera menuju Eropa, Amerika, sudah sepadan dengan harga mahakarya itu untuk kita banggakan? Ini pertanyaan yang perlu kita jawab dengan rasa tanggung jawab dan tulus. Kata ‘kontemporer’ yang dipakai Sutradara, Penulis dan Produser sebagai alat pembenaran kemanapun karya ini dibawa Robert–Rodha sah, tidak menjadi pembenaran kita menerima saja pendangkalan yang terjadi, termasuk menerima I La Galigo yang dahsyat itu berubah menjadi sekadar sendratari “gado-gado dari Bugis”.
I La Galigo ditulis abad 14–16 M sebelum Islam memasuki Sulawesi Selatan dan naskah I La Galigo sendiri tidak ada membicarakan tentang Islam. Maka ketika di panggung kita menyaksikan Bissu (yang) Islam, yang lahir baru sekitar 500 tahun lalu, ditambah dengan tari pakarena yang lahir baru puluhan tahun terakhir, tidak ada kata lain yang terucap dari mulut saya selain, ‘menyedihkan’. Katakanlah atas nama kontemporer kita sepakat menerima I La Galigo bisa juga ‘gado-gado dari Bugis’. Namun penempatan bissu, semata sebagai alat eksotis (lagi-lagi tak bertenaga) dan dengan semena-mena mengabaikan posisi tradisi ritus Bissu yang dalam kehidupan masyarakat Bugis yang sampai kini masih hidup, sungguh memprihatinkan.
Memperkenalkan I La Galigo ke mata dunia tentu saja penting. Tapi mempercayakannya ke tangan seseorang hanya dengan pertimbangan “bertaraf Internasional”, kita justru telah menjadikan I La Galigo tidak punya apa-apa sama sekali di mata masyarakat dunia yang telah dan yang akan menontonnya, apalagi bila ingin disejajarkan dengan Mahabarata, atau epik-epik mahakarya lainnya.
Terakhir, saya mendengar latihan pertunjukan ini memakan waktu empat tahun dan dilangsungkan di Bali. Mungkin inilah yang bisa menjelaskan kedangkalan tafsir atas I La Galigo. Sebab bisa jadi I La Galigo tidak membutuhkan latihan bertahun-tahun, melainkan waktu yang memadai menghayati dan menghirup daya hidup Bugis. Sebab roh dan daya hidup Bugislah yang melahirkan mahakarya itu. Maka kurang dari itu, tidak sepadan.
Sumber: Sinar Harapan, 23 March 2004

Sabtu, 01 September 2007

Opu Daeng Risadju

Pahlawan Nasional
Opu Daeng Risadju
(1880 – 1964)

Pada tahun 1946, Opu Daeng Risadju beserta Pemuda Republik melakukan serangan terhadap tentara NICA. Tapi sebulan kemudian, tentara NICA melakukan serangan balik terhadap pasukan beliau. Beberapa bulan kemudian beliau ditangkap di Latonro dan dipaksa berjalan kaki sejauh 40 km menuju Watampone. Karena banyak mengalami penyiksaan, beliau menjadi tuli seumur hidup. Perjuangan beliau telah memegang peranan penting dan secara aktif dalam perjuangan kebangkitan nasional dan masa revolusi fisik kemerdekaan RI di wilayah Tanah Luwu khususnya, dan Sulsel umumnya. Atas jasa-jasa Opu Daeng Risadju, pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.