Kamis, 30 Agustus 2007

Propinsi Luwu Raya

Provinsi Luwu Raya, Mungkinkah Terwujud?

PERTANYAAN seperti inilah yang kerap hinggap di benak masyarakat Luwu, khususnya di Kotamadya Palopo, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Bahkan, kasak-kusuk konsep Provinsi Luwu Raya ini kerap menjadi perbincangan serius mulai dari daeng becak di warung-warung tegal sampai dengan kalangan intelektual di forum-forum diskusi.
Iya, Mbak. Memang ada rencana mau dibuat Luwu Raya. Tapi, tidak tahu kapan. Jadi apa tidak, ya? Kami sih maunya cepat. Kan bisa jadi kota besar," ujar daeng becak yang kerap ngetem di depan terminal yang kemudian berandai-andai jika saja Palopo menjadi ibu kota Provinsi Luwu Raya.
Aspirasi masyarakat Luwu eks kerajaan/afdeling untuk membentuk Luwu Raya ini sendiri telah dipelopori dan diperjuangkan Raja Kerajaan Luwu Sri Paduka Datu Luwu Andi Djemma sejak tahun 1953-1963. Sejak itulah desakan-desakan masyarakat untuk membentuk Luwu Raya semakin kencang. Kalangan aktivis LSM pun tegas-tegas menolak tudingan munculnya aspirasi pembentukan Luwu Raya hanya eforia trend otonomi daerah. Bahkan, tanggal 17 Juli 2001 digelar Kongres Rakyat Luwu yang bertujuan menyatukan dan membulatkan tekad sepakat untuk membangun Luwu Raya.
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000, maka pembentukan Luwu Raya ini sebenarnya telah memenuhi syarat dan kriteria yang ada, yakni telah memiliki minimal tiga kabupaten. Dulu pembentukan Luwu Raya ditolak gubernur dengan alasan wilayahnya tidak memenuhi syarat. Kini, dengan wilayah Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja, dan Kotamadya Palopo masih saja ditolak.

***

KOORDINATOR Forum LSM Tana Luwu (Fortal) Baharman Supri mengungkapkan, pembentukan provinsi yang merupakan gabungan dari Luwu, Luwu Utara, Tator, dan Palopo, ini sebenarnya tinggal menunggu sidang pleno DPRD Luwu saja. Pasalnya, dalam PP No 159/2000, persyaratan tambahannya perlu rekomendasi DPRD melalui sidang pleno.
Persyaratan inilah yang hingga kini menghambat pembentukan Luwu Raya. Bahkan, PP baru itu dinilai sengaja dibuat untuk menghambat aspirasi masyarakat Luwu dan sekitarnya. Pasalnya, Baharman mengaku pihaknya telah memiliki surat rekomendasi pembentukan provinsi itu lengkap dengan tanda tangan Bupati dan Ketua DPRD Luwu, Luwu Utara, Tator, serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
"Dulu begitu saja tidak apa-apa. Sekarang surat itu dianggap tidak sah. Yang jelas suratnya sudah kami masukkan ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan nama Luwu Raya sudah terdaftar sejak tahun 1991. Pihak Mendagri bilang tidak bisa hanya dengan surat itu saja. Masih harus ada penguatan rekomendasi DPRD melalui sidang pleno. Itu yang sampai sekarang belum dilakukan. Kami akan desak DPRD pleno," jelas Baharman.
Padahal, tambah Baharman, DPRD Luwu sudah didemo terus tapi tidak ada kemajuan selama empat tahun ini. Tampaknya DPRD tingkat II tidak antusias dengan penerbitan rekomendasi itu. Maka dari itu, Baharman berencana menggelar aksi rakyat untuk kedua kalinya demi mengingatkan pemerintah tentang aspirasi yang tengah berkembang.
"Luwu Raya ini tak lama lagi akan terwujud. Kami bertekad Luwu Raya setidaknya sudah terbentuk sebelum Pemilu 2004. Jika pada saat yang ditentukan Luwu Raya belum juga terbentuk, akan ada pembangkangan massal. Salah satu caranya adalah dengan menolak membayar pajak," kata Baharman menegaskan.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPRD Luwu Andi Mudzakkar menyatakan, pihaknya tetap mendukung seratus persen pembentukan Luwu Raya. Hanya saja hingga kini belum ada "lampu hijau" dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel. Mudzakkar pun menilai pembentukan provinsi ini kemungkinan sengaja dihambat. Pasalnya, jika nanti Luwu Raya benar-benar terwujud, tentu saja akan merugikan karena Sulsel akan kehilangan sumber pendapatan yang terbesar.
"Selama ini, kan, Luwu yang paling banyak memberikan sumbangan PAD pada pemprov. Potensi alam yang kami miliki ini kan luar biasa. Di sini semuanya ada, mulai dari sektor perkebunan hingga perikanan. Saya kira pemprov takut kehilangan ini," kata Mudzakkar.
Dengan banyaknya potensi yang ada di Luwu, tambah Mudzakkar, maka tidak ada alasan lain untuk menghalangi pembentukan Luwu Raya. Jika dibandingkan dengan daerah lain, Luwu jauh lebih unggul dan lebih memenuhi persyaratan, dan bahkan sanggup menghidupi dirinya sendiri. "Jangan sampai daerah lain diberi izin membentuk provinsi baru tapi Luwu tidak. Apa lagi halangannya? Tidak ada. Aspirasi dari bawah sudah ada. Berarti tinggal persetujuan dari pusat," ujarnya mempertanyakan.
"Tidak ada alasan yang mendasar dan rasional untuk menolak. Dalam UU sah-sah saja. Kita bisa terima alasan penolakan gubernur asalkan jelas dan kuat. DPRD hanya sebagai penyalur aspirasi masyarakat saja. Masing-masing pihak baik masyarakat maupun pemerintah mempunyai alasan tersendiri untuk menuntut dan menolak Luwu Raya," tambah Mudzakkar.
Menanggapi hal ini Gubernur Sulsel HZB Palaguna saat ditemui Kompas menyatakan, tuduhan menghalangi pembentukan Luwu Raya karena alasan ekonomis dan politis itu sama sekali tidak benar. Palaguna menyatakan, wewenang keputusan pembentukan provinsi baru itu tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. "Tidak ada satu pun usaha untuk menghalangi pembentukan provinsi baru itu," tegasnya tanpa menerangkan lebih jauh.

***

MENURUT pakar komunikasi Universitas Hasanuddin Prof Dr AS Achmad, masyarakat Luwu, Luwu Utara, Tator, dan Palopo, harus terus berjuang dan jangan hanya terpaku pada pembentukan Luwu Raya saja. Pasalnya, tujuan pembentukan Luwu Raya ini lebih pada pengembangan otonomi yang optimal.
Visi perjuangannya pun demi menegakkan jati diri dan menegaskan identitas serta eksistensi Luwu. "Luwu Raya ini hanyalah alat dan bukan tujuan akhir. Cita-citanya adalah bagaimana membangun Luwu menjadi aman sejahtera. Yang penting itu sebenarnya setelah Luwu Raya terbentuk, terus apa yang akan dilakukan," tegasnya.
Secara administratif, pembentukan Luwu Raya juga bertujuan untuk memperpendek jalur birokrasi. Mendekatkan pelayanan pemerintah dengan masyarakat. Pasalnya, selama ini masalah jarak yang jauh menjadi masalah krusial di Luwu. Jarak Luwu-Makassar sejauh 400 kilometer menjadi penghalang utama masyarakat Luwu dalam menyampaikan segala aspirasi.
Ide memperpendek birokrasi ini senada dengan Mudzakkar yang menyatakan pemekaran wilayah di Luwu memang dilakukan untuk mempermudah pelayanan administrasi pemerintah ke masyarakat. Pasalnya, pelayanan pemerintah tidak efektif jika wilayahnya terlalu luas. Pemprov Sulsel seharusnya melihat secara langsung kondisi Luwu.
"Jangan pakai alasan kewenangan sebagai alasan menolak pemekaran. Seharusnya pemerintah meninjau ke bawah mengenai seberapa kuat keinginan masyarakat akan Luwu Raya. Silakan datang sendiri ke Luwu untuk melihat kenyataan di lapangan. Silakan juga menilai sendiri apakah kami layak untuk berdiri sendiri sebagai Provinsi Luwu Raya atau tidak," tegas Mudzakkar.
Meskipun tekad pembentukan Luwu Raya telah bulat, Achmad mengakui masih ada perdebatan tentang keikutsertaan Tator dalam Luwu Raya. Achmad secara jelas menyarankan untuk saat ini lebih baik Tator tidak diikutsertakan dalam Luwu Raya. Pasalnya, rumah tangga intern Luwu saja belum beres (Luwu, Luwu Utara, dan Palopo) masak sudah mau mengajak orang lain masuk.
"Di tingkat grassroot Tator belum bisa diterima. Alasannya di Tator sering terjadi konflik dan Tator kurang bisa berbaur dan beradaptasi dengan orang di luarnya. Itu saja alasannya. Ini bukan masalah agama di Tator yang mayoritas Nasrani," tegasnya.
Menepis pernyataan Achmad, tokoh masyarakat Luwu M Sada menyatakan seharusnya semua pihak bisa menerima Tator. Pasalnya, pemangku adat Luwu saja bisa menerima Luwu Raya. Lagipula, dari segi sejarah, Kerajaan Luwu sejak dulu terdiri dari Kolaka, Poso, dan Tator. Alasan penolakan yang selama ini berkembang adalah semata-mata karena perbedaan budaya antara Tator dan Luwu.
Alasan perbedaan budaya ini dinilai Sada terlalu berlebihan dan munafik. Pasalnya, 12 anak suku di Luwu saja budayanya juga sudah berbeda-beda. Bahkan, masing-masing memiliki bahasa lokal sendiri. Setidaknya ada sembilan bahasa yang berkembang di Luwu.
"Luwu dan Tator baru berpisah tahun 1957. Persoalan ini tampaknya masih perlu dibahas dan didiskusikan lebih panjang dengan semua kalangan. Kalau tidak segera selesai, ini akan jadi batu sandungan terus. Pihak Tator sendiri sudah mendukung 100 persen Luwu Raya. Ini masalahnya. Ada ketidakkompakan," jelas Sada.
Luwu sendiri adalah sebagian dari bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu, salah satu dari tiga kerajaan utama yang pernah ada di Sulsel dengan istilah Tellum Poccoe atau tiga kerajaan puncak. Kerajaan Luwu dianggap sebagai kerajaan tertua di Sulsel yang pada suatu periode pengaruhnya meliputi Kawasan Timur Indonesia, misalnya Gorontalo, Ternate, Bima, Buton, dan lain-lain.
Bahkan, masa sebelum pemerintahan Hindia Belanda, Luwu telah menjadi sebuah kerajaan dengan wilayah Makale, Rantepao, Kolaka (Sulawesi Tenggara), dan Poso (Sulawesi Tengah). "Yang kami tuntut adalah luas wilayah yang sama dengan bekas kerajaan dulu. Itu yang menjadi dasar perjuangan atas pembentukan Luwu Raya," kata Sada yang pernah menjadi anggota DPRD Luwu tahun 1971-1982.

***

MASALAH lain yang masih perlu dipikirkan adalah strategi penanganan konflik antarkelompok di Luwu. Pasalnya, potensi konflik di Luwu dan sekitarnya sangat tinggi. Kebijakan pemerintah yang menetapkan Luwu sebagai sasaran daerah transmigrasi memiliki konsekuensi daerah ini akan dihuni beranekaragam penduduk.
Ada kemungkinan timbul persoalan antarpenduduk pendatang dan lokal yang masing-masing membawa aspek agama dan suku. Pendatang biasanya memiliki etos kerja lebih tinggi sehingga memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi juga. Inilah yang kerap menimbulkan kesenjangan ekonomi.
Menurut Achmad, semua pihak seharusnya memikirkan matang-matang rencana pembentukan Luwu Raya terlebih dahulu. Apalagi mengingat kondisi masing-masing daerah yang masih sering ribut sendiri. Konflik yang kerap muncul selalu berhubungan dengan kecemburuan sosial antara pendatang dan warga lokal.
"Akhir-akhir ini, kan, sering terjadi dan sampai sekarang masih terus berlanjut. Ada disharmoni dalam masyarakat. Konflik yang terjadi bermula dari tidak sesuainya sistem yang sekarang berlaku dengan sifat dasar Luwu. Jika masing-masing daerah belum bersatu, Luwu Raya yang dicita-citakan itu tidak akan ada gunanya," ujar Achmad.
Dalam menangani konflik yang kerap terjadi, Achmad mengusulkan perlunya pendekatan secara sosio kultural seperti misalnya meningkatkan nilai-nilai budaya melalui tokoh-tokoh agama dan masyarakat. "Jangan dengan pendekatan secara hukum terus. Kalau begitu caranya, pemerintah tidak akan bisa menyelesaikan masalahnya secara tuntas karena hanya sepotong-sepotong. Suatu saat nanti pasti akan muncul konflik yang sama," ujarnya.
Menurut Kepala Satuan Serse Polres Luwu Prayitno, potensi konflik di Luwu termasuk tertinggi dan rawan di Sulsel. Namun, pada tahun 2002 ini jumlah konflik yang terjadi menurun drastis. Pada tahun 2000 setidaknya lebih dari 20 konflik terjadi dan ditanganinya beserta sekitar 840 personel dari Polres Luwu dan Luwu Utara, yakni di Padangsappa, Sabang, Seba-seba, dan Malangke.
Menurut Prayitno, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik. Namun, yang jelas faktor multi-etnis dan heterogenitas di Luwu lah penyebab utama terjadinya konflik. Pasalnya, Luwu itu bagaikan Indonesia kecil yang menampung berbagai macam etnis se-Indonesia. Agama, budaya, dan geografis mempengaruhi konflik juga. Benturan-benturan atau gesekan antar etnis inilah yang kerap terjadi. "Biasanya pemicunya itu hanya masalah tersinggung dan temperamen yang tinggi," ujarnya.
Aspirasi masyarakat Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja, dan Kotamadya Palopo telah terkumpul. Kemauan sudah kuat. Potensi alam dan manusia sudah ada dan lengkap. Namun, rupanya ketiga hal itu belumlah dianggap cukup untuk mewujudkan Provinsi Luwu Raya impian. Masih banyak paperwork lainnya.
Apa boleh buat. Mudzakkar pun mengaku tidak bisa menyalahkan sepenuhnya gubernur. "Gubernur memang sah-sah saja menolak pembentukan Luwu Raya ini. Tapi, jika alasannya jelas, alasan kenegaraan," ujarnya. (Luki Aulia)
Dikutip dari: Kompas, 07 Juni 2002

Tidak ada komentar: