”PASOMPE”
DAN SPIRIT BAHARI YANG TELAH PERGI
Oleh Dwi As Setianingsih dan Subhan SD
Pulau Sipadan-Ligitan, dan kemudian Ambalat, dipersengketakan dengan Malaysia. Kasus itu adalah ironi bagi bangsa bahari terbesar seperti Indonesia. Padahal, Indonesia selalu kita ibaratkan sebagai zamrud khatulistiwa dengan untaian pulau- pulau yang menawan.
Kita telah melupakan semua itu. Bahkan etnik yang di masa lampau terkenal sebagai penjelajah samudra, kini tak mudah ditemui. Semangat bahari ulung yang menjadi identitas suku-suku itu, kini boleh dikata telah luntur. Orang- orang Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya Bugis-Makassar, kini telah kehilangan spirit kebahariannya.
Abdul Rahman, seorang nelayan di Pelabuhan Paotere, Makassar, mengakui, masa kejayaan orang Bugis-Makassar sebagai pelaut andal, kini telah terkikis. Sudah tidak banyak lagi orang Bugis-Makassar yang melaut hingga jauh ke negeri seberang untuk berdagang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pria yang hampir empat juta jiwa, yang menjadi nelayan hanya sekitar 340.000 orang (8,5 persen).
“Dulu, orang Bugis-Makassar sangat terkenal di lautan. Mereka menguasai aktivitas perdagangan laut dan dikenal sangat pemberani menjelajah lautan hingga ribuan mil,” kata Rahman, Ketua Koperasi Insan Perikanan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Paotere, Makassar. Keberanian orang Bugis-Makassar mengarungi lautan sudah terbukti, meskipun dengan perahu kecil jolloro yang hanya bisa memuat tiga orang. Dengan jolloro, etnis ini berani berlayar sampai ke perairan Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Menapaki jejak sejarah, Phinisi Nusantara mampu berlayar menembus gelombang besar di Pasifik hingga tiba di Vancouver, Kanada, 1986. Di Sulsel, memang rutin berlangsung sandeq race (perahu asli orang Mandar —yang juga pelaut ulung dan kini masuk Sulawesi Barat) dari Polewali hingga Makassar. Tetapi, ekspedisi keliling dunia sandeq --- yang didukung beberapa negara ---tahun 2005 lalu gagal setelah tak mampu menembus perairan Kepulauan Solomon.
Kegiatan seperti itu hanya sekadar pemanis kisah. yang sejatinya, kini kehidupan orang Bugis-Makassar tidak lagi mengandalkan laut sebagai ladang penghidupan. Kini, aktivitas di daratan lebih menjanjikan dan membawa harapan.
Terjun ke laut
Berkurangnya minat generasi sekarang untuk terjun ke laut diakui H Muslim Baso, pengusaha pembuatan kapal kayu tradisional di Tanah Beru, Bulukumba. Menurut dia, anak-anak muda kini kian enggan berkarya di laut. “Anak saya tak ada yang mau mengikuti jejak saya di sektor kelautan. Mereka lebih senang bekerja di darat sebagai pegawai kantoran,” katanya.
Muslim Baso pun mulai mengkhawatirkan usaha pembuatan kapal rakyat di Tanah Beru, termasuk usaha yang dirintis orangtuanya berpuluh tahun silam. Dia tak tahu berapa lama lagi usaha turun-temurun itu bisa hidup. “Masa kejayaan orang Bugis-Makassar di lautan kini tinggal kenangan,” kata sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward Poelinggomang, yang juga pakar sejarah maritim Makassar.
Sungguh tragis. Apalagi mengenang kisah-kisah petualangan bahari orang-orang Bugis- Makassar berabad-abad silam yang mewarnai sejarah negeri ini. Kedatuan Luwu (abad VIII- XX) boleh jadi imperium kuat sezaman dengan Sriwijaya (VII- XII), Majapahit (XII-XVI). Sejak abad-abad silam, orang-orang dari Luwu telah berperahu mengarungi lautan hingga ke Malaya. Ekspedisi Sawerigading yang bahkan sampai ke China dan India, jadi legenda hidup.
Penjelajahan orang Bugis-Makassar bukan saja menguasai Sulawesi (Celebes), Kalimantan (Borneo), Sumatera (Andalas), Timor, Maluku, Ternate, bahkan menancapkan pengaruh di sejumlah kawasan seperti China, Malaysia, Filipina, Kamboja, Afrika, Pasifik, dan Australia.
Di masa Kerajaan Gowa (sejak abad XIII), terutama di masa antara Sultan Alauddin hingga cucunya, Sultan Hasanuddin, laut kawasan timur Nusantara selalu diramaikan orang-orang Bugis-Makassar. Di abad XVII, Makassar menjadi bandar yang amat ramai. Makassar menjadi titik tengah persilangan jalur perdagangan laut antara Malaka dan Maluku.
Armada (dagang) laut Gowa tak mampu diimbangi VOC Belanda. Ketika VOC mencoba menerapkan politik hegemoni atas wilayah laut dengan meminta Gowa membantu menyerang lawan-lawan VOC dalam jalur perdagangan rempah-rempah, Sultan Alauddin dengan tegas mengatakan, “Tuhan menciptakan tanah dan laut. Tanah dibagikan-Nya untuk manusia, dan laut adalah milik bersama.”
Di zaman Kolonial Belanda, kata Edward Poelinggomang, campur tangan pihak kolonial sejak tahun 1906 menghambat sepak terjang saudagar Bugis-Makassar dalam melakukan aktivitas perdagangan laut sekaligus memberlakukan pelabuhan yang tidak lagi bebas bea. Itulah, tandasnya, yang menjadi pintu gerbang bagi keruntuhan kejayaan orang Bugis-Makassar dalam perdagangan laut.
“Karakter orang Sulsel tidak mau banyak aturan. Ditambah semakin banyaknya kapal api yang beroperasi dengan kapasitas muatan yang besar, perlahan namun pasti meminggirkan orang Bugis-Makassar dari arena perdagangan laut,” paparnya.
Bertambah runyam, karena konsentrasi aktivitas pelabuhan kemudian dipindahkan ke Jakarta, Semarang, dan Surabaya yang terus berlanjut hingga kini. Tradisi mengarungi lautan itu tak lepas dari kultur yang subur di lingkungan masyarakat Sulsel yang dikenal sebagai pasompe. Secara harfiah bermakna merantau, biasanya kategori pelaut-pedagang.
Berkurangnya minat generasi sekarang untuk terjun ke laut diakui H Muslim Baso, pengusaha pembuatan kapal kayu tradisional di Tanah Beru, Bulukumba. Menurut dia, anak-anak muda kini kian enggan berkarya di laut. “Anak saya tak ada yang mau mengikuti jejak saya di sektor kelautan. Mereka lebih senang bekerja di darat sebagai pegawai kantoran,” katanya.
Muslim Baso pun mulai mengkhawatirkan usaha pembuatan kapal rakyat di Tanah Beru, termasuk usaha yang dirintis orangtuanya berpuluh tahun silam. Dia tak tahu berapa lama lagi usaha turun-temurun itu bisa hidup. “Masa kejayaan orang Bugis-Makassar di lautan kini tinggal kenangan,” kata sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward Poelinggomang, yang juga pakar sejarah maritim Makassar.
Sungguh tragis. Apalagi mengenang kisah-kisah petualangan bahari orang-orang Bugis- Makassar berabad-abad silam yang mewarnai sejarah negeri ini. Kedatuan Luwu (abad VIII- XX) boleh jadi imperium kuat sezaman dengan Sriwijaya (VII- XII), Majapahit (XII-XVI). Sejak abad-abad silam, orang-orang dari Luwu telah berperahu mengarungi lautan hingga ke Malaya. Ekspedisi Sawerigading yang bahkan sampai ke China dan India, jadi legenda hidup.
Penjelajahan orang Bugis-Makassar bukan saja menguasai Sulawesi (Celebes), Kalimantan (Borneo), Sumatera (Andalas), Timor, Maluku, Ternate, bahkan menancapkan pengaruh di sejumlah kawasan seperti China, Malaysia, Filipina, Kamboja, Afrika, Pasifik, dan Australia.
Di masa Kerajaan Gowa (sejak abad XIII), terutama di masa antara Sultan Alauddin hingga cucunya, Sultan Hasanuddin, laut kawasan timur Nusantara selalu diramaikan orang-orang Bugis-Makassar. Di abad XVII, Makassar menjadi bandar yang amat ramai. Makassar menjadi titik tengah persilangan jalur perdagangan laut antara Malaka dan Maluku.
Armada (dagang) laut Gowa tak mampu diimbangi VOC Belanda. Ketika VOC mencoba menerapkan politik hegemoni atas wilayah laut dengan meminta Gowa membantu menyerang lawan-lawan VOC dalam jalur perdagangan rempah-rempah, Sultan Alauddin dengan tegas mengatakan, “Tuhan menciptakan tanah dan laut. Tanah dibagikan-Nya untuk manusia, dan laut adalah milik bersama.”
Di zaman Kolonial Belanda, kata Edward Poelinggomang, campur tangan pihak kolonial sejak tahun 1906 menghambat sepak terjang saudagar Bugis-Makassar dalam melakukan aktivitas perdagangan laut sekaligus memberlakukan pelabuhan yang tidak lagi bebas bea. Itulah, tandasnya, yang menjadi pintu gerbang bagi keruntuhan kejayaan orang Bugis-Makassar dalam perdagangan laut.
“Karakter orang Sulsel tidak mau banyak aturan. Ditambah semakin banyaknya kapal api yang beroperasi dengan kapasitas muatan yang besar, perlahan namun pasti meminggirkan orang Bugis-Makassar dari arena perdagangan laut,” paparnya.
Bertambah runyam, karena konsentrasi aktivitas pelabuhan kemudian dipindahkan ke Jakarta, Semarang, dan Surabaya yang terus berlanjut hingga kini. Tradisi mengarungi lautan itu tak lepas dari kultur yang subur di lingkungan masyarakat Sulsel yang dikenal sebagai pasompe. Secara harfiah bermakna merantau, biasanya kategori pelaut-pedagang.
Berdagang antarpulau
Menurut Prof Abu Hamid, antropolog Unhas, pasompe umumnya saudagar yang berdagang antarpulau. Biasanya pada musim kemarau (timo), mereka berlayar ke barat. Sedangkan pada musim angin dan hujan (bare) mereka kembali ke kampungnya (ke arah timur).
Menurut Abu Hamid, dalam Pasompe, Pengembaraan Orang Bugis, sejak kejatuhan Gowa di abad XVII itu, kerajaan itu didesak untuk mengubah kegiatannya di daratan, berpaling dari aktivitas utamanya selama ini di laut. Gowa dipaksa menjadi kerajaan agraris, melepaskan kejayaan maritimnya. Sejak itulah, pasompe yang dilakukan penduduk mulai dilakukan karena terdesak di kampungnya.
Bukan hanya penduduk, para tokoh juga hijrah dari kampung mereka karena ancaman VOC. Karaeng Galesong, salah satu Panglima Gowa, misalnya, pergi ke Jawa. Dia malah menjadi “penguasa” Laut Jawa dan Selat Makassar, dan bahkan berkoalisi dengan Trunojoyo melakukanperlawanan terhadap Belanda.
Tak ubahnya di daratan, pasompe menjadi komunitas tersendiri. Perahu menjadi sebuah desa, yang memiliki aturan dan tata tradisi. Nakhoda adalah kepala desa. Setiap pasompe harus menghormati aturan-aturan yang diberlakukan. Mereka harus bekerja sama. Mereka pantang untuk bertengkar di lautan.
Oleh karena itulah, peran seorang nakhoda (juragan) amat penting. Dia harus menjadi pemimpin yang berwibawa dan bisa menaungi semua sawi-nya (anak buah atau penumpang). Larangan berselisih ini juga berlaku untuk istri-istri pasompe yang ditinggal di kampung.
Pasompe tak hanya punya keberanian menghadang badai di tengah lautan, tetapi juga harus dibekali ilmu pengetahuan menyangkut astronomi, sistem navigasi, dan ilmu kelautan. Ilmu astronomi mutlak dikuasai. Misalnya memahami posisi bintang-bintang di langit yang bisamemengaruhi perubahan alam, seperti angin badai, hujan, petir, dan sebagainya.
Para pasompe juga harus menguasai pengetahuan kelautan. Tanpa alat-alat modern, mereka hanya mengandalkan pengetahuan tradisional, seperti penglihatan (pakkita), penciuman paremmau), pendengaran (parengkalinga), firasat (penedding), dan keyakinan (tentuang). Dengan mengandalkan indera itu, pasompe bisa mengendus bahwa angin hitam di sebelah barat yang tiba-tiba menghilang dan cerah, itu pertanda datangnya angin kencang dan amat membahayakan.
“Orang Bugis-Makassar zaman dulu sepertinya tidak pernah takut dengan apa pun yang terjadi di laut. Mungkin karena mereka dibekali dengan ilmu-ilmu alam untuk mengatasi bahaya di laut”, kata Rahman.
Sekarang ini persoalannya apakah spirit dan kultur pasompe itu masih tersisa? Semangat melaut orang Bugis-Makassar, ujar Rahman, kini lebih banyak diterjemahkan dengan bahasa menjadi nelayan.
“Semangat orang Bugis-Makassar untuk menaklukkan laut ada di tangan generasi muda yang kini memilih menjadi nelayan. Sebagian yang mampu menguasai rantai perdagangan ikan berhasil menjadi nelayan sukses,” tambah Edward Poelinggomang.
Menurut Prof Abu Hamid, antropolog Unhas, pasompe umumnya saudagar yang berdagang antarpulau. Biasanya pada musim kemarau (timo), mereka berlayar ke barat. Sedangkan pada musim angin dan hujan (bare) mereka kembali ke kampungnya (ke arah timur).
Menurut Abu Hamid, dalam Pasompe, Pengembaraan Orang Bugis, sejak kejatuhan Gowa di abad XVII itu, kerajaan itu didesak untuk mengubah kegiatannya di daratan, berpaling dari aktivitas utamanya selama ini di laut. Gowa dipaksa menjadi kerajaan agraris, melepaskan kejayaan maritimnya. Sejak itulah, pasompe yang dilakukan penduduk mulai dilakukan karena terdesak di kampungnya.
Bukan hanya penduduk, para tokoh juga hijrah dari kampung mereka karena ancaman VOC. Karaeng Galesong, salah satu Panglima Gowa, misalnya, pergi ke Jawa. Dia malah menjadi “penguasa” Laut Jawa dan Selat Makassar, dan bahkan berkoalisi dengan Trunojoyo melakukanperlawanan terhadap Belanda.
Tak ubahnya di daratan, pasompe menjadi komunitas tersendiri. Perahu menjadi sebuah desa, yang memiliki aturan dan tata tradisi. Nakhoda adalah kepala desa. Setiap pasompe harus menghormati aturan-aturan yang diberlakukan. Mereka harus bekerja sama. Mereka pantang untuk bertengkar di lautan.
Oleh karena itulah, peran seorang nakhoda (juragan) amat penting. Dia harus menjadi pemimpin yang berwibawa dan bisa menaungi semua sawi-nya (anak buah atau penumpang). Larangan berselisih ini juga berlaku untuk istri-istri pasompe yang ditinggal di kampung.
Pasompe tak hanya punya keberanian menghadang badai di tengah lautan, tetapi juga harus dibekali ilmu pengetahuan menyangkut astronomi, sistem navigasi, dan ilmu kelautan. Ilmu astronomi mutlak dikuasai. Misalnya memahami posisi bintang-bintang di langit yang bisamemengaruhi perubahan alam, seperti angin badai, hujan, petir, dan sebagainya.
Para pasompe juga harus menguasai pengetahuan kelautan. Tanpa alat-alat modern, mereka hanya mengandalkan pengetahuan tradisional, seperti penglihatan (pakkita), penciuman paremmau), pendengaran (parengkalinga), firasat (penedding), dan keyakinan (tentuang). Dengan mengandalkan indera itu, pasompe bisa mengendus bahwa angin hitam di sebelah barat yang tiba-tiba menghilang dan cerah, itu pertanda datangnya angin kencang dan amat membahayakan.
“Orang Bugis-Makassar zaman dulu sepertinya tidak pernah takut dengan apa pun yang terjadi di laut. Mungkin karena mereka dibekali dengan ilmu-ilmu alam untuk mengatasi bahaya di laut”, kata Rahman.
Sekarang ini persoalannya apakah spirit dan kultur pasompe itu masih tersisa? Semangat melaut orang Bugis-Makassar, ujar Rahman, kini lebih banyak diterjemahkan dengan bahasa menjadi nelayan.
“Semangat orang Bugis-Makassar untuk menaklukkan laut ada di tangan generasi muda yang kini memilih menjadi nelayan. Sebagian yang mampu menguasai rantai perdagangan ikan berhasil menjadi nelayan sukses,” tambah Edward Poelinggomang.
Sumber: Kompas, 12 Juni 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar