Senin, 03 September 2007

Pementasan Lagaligo

La Galigo:
Panggung Megah, Miskin Makna

Oleh Ratna Sarumpaet
Ketua Dewan Kesenian Jakarta

Dipentaskan perdana di Esplanade, Singapura, 12-13 Maret 2004, ditangani Robert Wilson, sutradara yang dianggap sebagai tonggak teater kontemporer dunia, I La Galigo, epik tua dari Sulawesi Selatan itu, sungguh telah melangkah memasuki pentas dunia.
Epik berbentuk puisi berangkai ini konon bila kelak terkumpul dan selesai dituliskan, akan berjumlah kurang lebih 6000 halaman. Namun kedahsyatan epik ini tentu saja tidak terletak hanya pada panjangnya halaman yang luar biasa, tapi justru pada muatan dan maknanya yang kaya. Ia memuat genesis Bugis, aturan-aturan kemasyarakatan, tata moral, pengobatan, hukum kelautan, juga berbagai prilaku manusia yang destruktif.
Tidak ada alasan dari jauh-jauh hari meragukan kehebatan pertunjukan ini menilik semua hal yang mendukungnya memang ‘hebat’; Nama besar Sutradaranya; Tata cahayanya yang canggih dan mahal; Biaya besar dan keterlibatan Change Performing Arts, Italia yang dikenal berhasil memproduksi berbagai pementasan bersekala Internasional. Sayang sekali, meski puisi berangkai I La Galigo memberi ruang keterbukaan interpretasi, adaptasi teks dan dramaturgi Rhoda Grauer sebagai penulis naskah justru tidak mampu mengungkap kelebihan dan kekuatan I La Galigo. Adaptasi Rodha yang lemah, dan diletakkan di atas pentas oleh Wilson, juga tanpa kemampuan menghayati kultur dimana I La Galigo berakar, membuat I La Galigo tidak lagi kisah yang dahsyat dan menggetarkan. Di atas pentas megah Esplanade, ia hadir sebagai cerita biasa, tanpa greget, tanpa pergolakan batin, nyaris tanpa makna dan miskin simbol.
Ketidakmampuan Rodha-Wilson menggali konflik yang di dalam teks termaknai begitu kaya terlihat ketika Sawerigading yang ditakdirkan sebagai simbol petarung daya hidup dan daya kalbu itu ditafsir harfiah sebagai ‘suka mengadu ayam’ dan ditampilkan di atas pentas benar-benar sebagai adegan adu ayam semata, kering dan kosong. Padahal dalam naskah I La Galigo, ayam adalah peliharaan penguasa langit. Dia adalah makna jiwa, bukan sekedar binatang aduan. Juga ketika Sawerigading bertemu saudara kembar perempuannya dan cinta datang tak terelakan. Tidak ada ketegangan antara passion/hasrat nekad dan kebijakan, antara daya kalbu dengan daya hidup, selain seorang lelaki canggung yang mendadak terjatuh, kaget oleh kecantikan perempuan. Bahkan prosesi penebangan pohon Welenrennge sebagai pohon pertama dibumi, yang memiliki potensi mengangkat nafas pertunjukan, justru semakin menguatkan ketidakmampuan Rhoda-Wilson menafsirkan dan mengadaptasi teks ke wilayah pertunjukan. Menyaksikan Sawerigading tampil dalam tarian sebagai tukang tebang kayu sungguhan makna pohon yang akarnya menjangkau langit dan bumi itu hilang begitu saja. Sama seperti hilangnya makna pelangi yang dalam kisah I La Galigo adalah alat transportasi, serta hilangnya makna guntur dan langit sebagai alat komunikasi. Padahal semua itu mengisyaratkan betapa kisah ini bisa sangat dahsyat jika divisualkan, meski tanpa teknologi canggih sekalipun.
Di awal, Wilson sebenarnya sudah dengan baik memberi pemaknaan dunia tengah di wilayah pemaknaan dunia alam pertunjukan sebagai imaji Bugis purba ke dalam imaji kecanggihan tata lampu. Ia menampilkan prosesi daya kalbu dan daya hidup yang bergerak sebagai kekuatan tenaga sunyi yang ‘menjadi’. Gulungan gemuruh gerak hidup yang ditampilkan oleh puluhan penari, lengkap dengan berbagai peralatan seperti alat pertanian, tenun sampai senjata perang, merupakan penyampaian tahapan pertumbuhan daya hidup manusia yang memikat dan bertenaga. Sayang sekali kekuatan itu berhenti di situ saja. Selanjutnya, pertunjukan secara keseluruhan hanyalah dunia pentas yang kosong dan tak bermakna. Energi kesakralan yang menjadi kekuatan utama I La Galigo hilang ditelan megahnya tata lampu canggih. Tersita oleh keinginan menjaga kerapian teknis. Menjaga keapikan hubungan sinyal musik dengan gerak tari patah. Para penari yang dilatih bertahun-tahun itu hanya mampu menyuguhkan serangkaian gerak mekanis tak bernyawa, tanpa kemampuan memaknai bahwa pilihan ‘menari dengan hati’ sesungguhnya berbeda dengan menari sebagai kemampuan penguasaan teknik.
Tidak adanya penjelasan baik di pentas, di buku program dan media-media publikasi yang diterbitkan, apakah I La Galigo yang ditampilkan itu adalah yang berasal dari Bugis yang beribukotakan Luwu, sebenarnya telah serta merta menunjukkan persiapan pementasan ini miskin penelitian, geologis maupun antropologis. Penyebutan Bugis di iklan raksasa The Strait Times tanpa menjelaskan apakah Bugis dimaksud adalah Bugis yang berdiri sendiri, atau Bugis yang milik Singapura, atau Bugis yang bagian dari Indonesia, juga menunjukkan kecerobohan mendudukkan I La Galigo sebagai mahakarya yang lahir di wilayah negeri ini. Pemahaman bahwa I La Galigo adalah milik dunia, tentu saja. Tapi bukan kebetulan Sulawesi Selatan, I La Galigo, Bugis, Luwu, berada di daratan Republik ini dan bukan di daratan Cina misalnya. Itulah yang membuat kita, negara, seniman, budayawan, termasuk para agen kesenian berkewajiban menghormati I La Galigo sebagai harta bangsa tak ternilai, yang harus dijaga.
Separuh dari penonton yang memadati Esplanade adalah penonton Indonesia: seniman, budayawan, pejabat, pengusaha, selebritis, termasuk seorang menteri yang datang dengan pesawat pribadi. Sebagai pementasan multiunsur, pasti ada banyak sisi yang secara terpisah-pisah bisa disukai atau dibenci penonton dari pertunjukan ini, dan itu terlihat dari gemuruh tepuk tangan penonton di akhir pertunjukan. Namun, adakah I La Galigo yang dipentaskan di Esplanade dan segera menuju Eropa, Amerika, sudah sepadan dengan harga mahakarya itu untuk kita banggakan? Ini pertanyaan yang perlu kita jawab dengan rasa tanggung jawab dan tulus. Kata ‘kontemporer’ yang dipakai Sutradara, Penulis dan Produser sebagai alat pembenaran kemanapun karya ini dibawa Robert–Rodha sah, tidak menjadi pembenaran kita menerima saja pendangkalan yang terjadi, termasuk menerima I La Galigo yang dahsyat itu berubah menjadi sekadar sendratari “gado-gado dari Bugis”.
I La Galigo ditulis abad 14–16 M sebelum Islam memasuki Sulawesi Selatan dan naskah I La Galigo sendiri tidak ada membicarakan tentang Islam. Maka ketika di panggung kita menyaksikan Bissu (yang) Islam, yang lahir baru sekitar 500 tahun lalu, ditambah dengan tari pakarena yang lahir baru puluhan tahun terakhir, tidak ada kata lain yang terucap dari mulut saya selain, ‘menyedihkan’. Katakanlah atas nama kontemporer kita sepakat menerima I La Galigo bisa juga ‘gado-gado dari Bugis’. Namun penempatan bissu, semata sebagai alat eksotis (lagi-lagi tak bertenaga) dan dengan semena-mena mengabaikan posisi tradisi ritus Bissu yang dalam kehidupan masyarakat Bugis yang sampai kini masih hidup, sungguh memprihatinkan.
Memperkenalkan I La Galigo ke mata dunia tentu saja penting. Tapi mempercayakannya ke tangan seseorang hanya dengan pertimbangan “bertaraf Internasional”, kita justru telah menjadikan I La Galigo tidak punya apa-apa sama sekali di mata masyarakat dunia yang telah dan yang akan menontonnya, apalagi bila ingin disejajarkan dengan Mahabarata, atau epik-epik mahakarya lainnya.
Terakhir, saya mendengar latihan pertunjukan ini memakan waktu empat tahun dan dilangsungkan di Bali. Mungkin inilah yang bisa menjelaskan kedangkalan tafsir atas I La Galigo. Sebab bisa jadi I La Galigo tidak membutuhkan latihan bertahun-tahun, melainkan waktu yang memadai menghayati dan menghirup daya hidup Bugis. Sebab roh dan daya hidup Bugislah yang melahirkan mahakarya itu. Maka kurang dari itu, tidak sepadan.
Sumber: Sinar Harapan, 23 March 2004

Tidak ada komentar: