To Manurung vs To Sangiang
STUDI KASUS MASA AWAL KERAJAAN TANETE
Oleh: Sahajuddin
Dosen Luar Biasa Ilmu Sejarah Unhas
Dosen Luar Biasa Ilmu Sejarah Unhas
Proses awal keberadaan kerajaan- kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada umumnya selalu diawali dengan mitos-mitos sebagai bentuk pengesahan dan legalitas kerajaan. Memang diakui bahwa sebelum mitos-mitos itu muncul dan menjadi suatu konsep legalitas kerajaan, sebenarnya kerajaan-kerajaan itu telah lama ada dan eksis menurut pemikiran kolektif kelampauan mereka seperti kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, Wajo, Tanete dan kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan. Mitos itulah yang memunculkan tokoh Tu Manurung yang mewarisi raja-raja berikutnya. Namun yang paling menajubkan karena kemunculannya selalu bertepatan dengan adanya konflik-konflik internal kerajaan yang bersangkutan, dan tokoh inilah yang dianggap sebagai juru selamat yang membawa keamanan, ketentraman dan kemakmuran kerajaan dan terbukti memang demikian.
Konstelasi politik kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada masa lampau selalu punya kecenderungan untuk menyelesaikan masalah lewat pihak ketiga dengan apa yang disebut Tu Manurung seperti yang terjadi di Gowa, Bone, Wajo, Luwu, Soppeng dan lain-lain. Namun ada juga variasi tertentu walaupun kemunculannya juga diawali adanya konflik internal dalam kerajaan bersangkutan seperti yang terjadi di Tanete. Sehingga permasalahan yang belum terjawab secara tuntas sampai sekarang adalah “kenapa To Manurung selalu muncul pada saat kerajaan itu dalam keadaan konflik, dan apakah itu merupakan konspirasi politik?” Paper ini bukan menjawab pertanyaan itu tetapi mendiskusikan pertanyaan tersebut dengan menampilkan kasus Tu Manurung di Bone dengan kasus To Sangiang di Tanete.
Tu Manurung di Bone diawali dengan mitologi yang tidak berangka tahun, walaupun diperkirakan bahwa To Manurung proses rawal munculnya terjadi sekitar abad XIII dan abad XIV. Demikian juga di Bone tidak ada angka tahun yang pasti kecuali dikisahkan bahwa Tu Manurung muncul pada saat kerajaan kosong dalam jabatan raja karena tujuh unit kerajaan yang ada di Bone selalu sulit menentukan pilihan siapa yang paling layak memegang tahta kerajaan. Kondisi itu berlarut-larut sampai datangnya Tu Manurung. Dimana dikisahkan bahwa kedatangan Tu Manurung diawali dengan hujan ribut, guntur menggelegar yang tiada henti-hentinya selama sepekan disertai angin kencang sehingga terjadi gempa. Dan setelah berhenti gempa, nampaklah salah seorang yang berpakaian putih-putih di suatu tanah lapang di Bone dan tidak ada yang mengetahui identitasnya sehingga di beri nama Tu Manurung (orang yang turun dari kayangan). Pada saat orang-orang Bone memintanya Tu Manurung untuk menjadi raja di Bone, tiba-tiba orang itu berkata bahwa permintaanmu itu baik sekali dan mulia tetapi kalian salah karena saya juga hanyalah hamba, namun jika rajaku yang kalian maksud dan minta, maka baiklah kiranya saya antar kesana.
Dalam perjalanan menuju tempat yang dimaksud pada waktu itu juga datang angin kencang, kilat, petir dan guntur bersambut- sambutan. Setelah sampai di Matajang, tempat yang dimaksud maka terlihatlah oleh orang banyak rombongan pembesar dari Bone seorang laki-laki duduk berpakaian kuning di sebuah batu “Napara” beserta tiga orang pengikutnya yang duduk di dekatnya. Ketiga orang itu masing-masing punya pegangan, satu memegang payung memayungi orang yang perpakaian kuning itu, satu memegang kipas dan yang satu memegang “salenrang” (puan atau tempat sirih). Pada saat itulah terjadi tawar menawar kepentingan demi kerajaan Bone, dan terwujudlah kontrak perjanjian antara Tu Manurung sebagai raja dengan rakyat Bone. Inilah awal integrasi kerajaan Bone dari tujuh unik kerajaan yang ada, dan keturunan Tu Manurung tersebut mewarisi tahta kerajaan berikutnya.
Hal yang menarik pula untuk dibandingkan dengan Tu Manurung adalah To Sangiang pada masa awal kerajaan Tanete. Perbandingan yang dimaksud disini adalah masalah konflik internal kerajaan tanete dengan munculnya To Sangiang, sebab kalau yang diperbandingkan mengenai periodesasi proses awal keberadaan To Manurung di kebanyakan kerajaan di Sulawesi selatan dengan periodesasi proses awal kemunculan To Sangiang di kerajaan Tanete merupakan periode yang berbeda. To Manurung banyak di beritakan muncul sekitar abad XIII dan abad XIV, sementara To Sangiang di Tanete muncul sekitar abad XV atau abad XVI. Namun masa awal kerajaan Tanete juga mengisyaratkan cerita mitologis tetapi sangat berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi selatan. Kalau kerajaan lain pada umumnya melahirkan tokoh Tu Manurung dari dunia atas maka di Tanete melahirkan tokoh dengan sebutan To Sangiang dari dunia bawah yang ditandai dengan adanya ciri-ciri berupa air dalam Balubu yang selalu penuh dengan air dan ikan yang banyak yang sewaktu-waktu dibawahkan oleh burung-burung yang mengabdi padanya di atas Gunung Pangi.
Keluarga To Sangiang inilah yang nantinya membuka lahan pertanian yang cukup subur yang mendatangkan kemakmuran dan tempat itu tidak begitu jauh dari laut dengan sebutan Arung Nionjo, kemudian menjadi Agang Nionjo dan selanjutnya diabadikan menjadi kerajaan Agangnionjo sebagai cikal bakal kerajaan Tanete nantinya pada masa pemerintahan Raja VII Tu Maburu Limanna. Pada masa terbentuknya kerajaan Agangnionjo sampai pada masa pemerintahan Tu Maburu Limanna yang kami anggap sebagai masa awal kerajaan Tanete karena pada masa itu nama kerajaan Agangnionjo berubah menjadi kerajaan Tanete.
Dalam tradisi lisan masyrakat Tanete yang kita kenal sekarang dimana pada masa lampau di daerah tersebut diceritakan adanya beberapa kerajaan yang sudah eksis dengan sebutan ke-Arungan atau wilayah kekuasaan seseorang penguasa yang di sebut Arung. Adapun Arung yang sangat terkenal pada masa itu ialah Arung Pangi dan Arung Alekale. Dimana dikisahkan Arung Pangi bersama pengiringnya melakukan perburuan di kawasan pegunungan Pangi. Pada saat mereka mencapai puncak gunung di daerah jangang-jangangnge dijumpai sebuah tempayan (balubu) yang berisi air, suatu pertanda bahwa ada penghuni di tempat itu. Dugaan itu ternyata benar. Mereka menemukan sepasang suami- istri sedang duduk dan di sekitarnya beterbangan burung-burung Bangau yang datang menghampiri mereka dengan membawa ikan. Ikan-ikan mentah yang dibawa burung-burung itu diberikan kepada pasangan suami-istri itu sebagai makanan mereka.
Kenyataan itu merangsang rasa ingin tahu Arung Pangi dan pengiringnya sehingga datang menghampiri pasangan suami-istri itu dan bertanya tentang asal-usulnya. Jawaban yang diperoleh bahkan menimbulkan pemikiran mitis, karena mereka hanya menyatakan bahwa mereka tinggal di puncak gunung ini atas kehendak sang Dewata, dan asal mula datangnya mereka itu sama seperti orang yang lain dari arah penjuru mata angin, barat, timur, selatan, atau utara. Arung Pangi selanjutnya menyuruh pengiringnya menyiapkan perbekalan yang dibawa untuk makan bersama termasuk mengajak pasangan suami-istri tersebut. Ajakan itu dijawab dengan ramah tama “silakan makan dan silakan gunakan air dalam tempayan itu. Kami tidak makan nasi tetapi hanya memakan ikan mentah yang dibawakan burung-burung itu”.
Jawaban itu menimbulkan pertanyaan siapa gerangan sesungguhnya pasangan suami-istri ini. Apakah mereka orang yang diturunkan dari dunia atas (boting langi) yang sering disebut Tumanurung karena berada di puncak gunung ataukah orang yang dimunculkan dari dunia bawah (paratiwi) melalui laut yang biasa disebut Tautompo karena hanya memakan ikan mentah. Persoalan itu yang mendorong Arung pangi dan pengiringnya menyebut pasangan suami istri itu To Sangiang. Setelah bersantap, Arung Pangi memohon pada To Sangiang itu untuk turun ke Gunung dan menetap di Pangi tetapi ajakan itu dijawab dengan mengatakan bahwa kami akan turun kelak jika Dewata mengizinkan. Lalu Arung Pangi pun minta pamit seraya berharap bahwa suatu saat nanti kita dipertemukan kembali.
Setelah Arung Pangi sampai di kerajaannya mereka pun memberitahukan kepada Arung Alekale, sehingga bersepakatlah Arung Pangi dan Arung Alekale untuk menemui Tosangiang dan mereka bertemu. Kemudian Arung Pangi menyampaikan kepada To Sangiang bahwa ia datang bersama kerabatnya Arung Alekale, yang juga berkeinginan untuk menjalin persahabatan. Arung Alekale menyambung pembicaraan itu dengan menawarkan kepada To Sangiang kiranya berkenan dapat tinggal di negerinya, dan menjalin hubungan kekeluargaan. Dengan demikian kita mendapatkan berkat dan rahmat Dewata. Namun To Sangiang merespon tawaran itu dengan jawaban seperti yang perna diutarakan kepada Arung Pangi sebelumnya. akhirnya mereka pulang kembali ke negeri tanpa disertai Tosangiang.
Hasrat Arung Pangi untuk mengajak turun To Sangiang akan segera terkabul sebab To Sangiang juga memiliki hasrat yang sama agar supaya anak perempuannya dapat dipersunting oleh putra Arung Pangi. Ketika hasrat To Sangiang disampaikan kepada Arung Pangi kala kunjungan pertemuan ketiganya, ditanggapi dan disambut dengan senang hati oleh Arung Pangi walaupun Arung Pangi tidak punya putra dengan menyatakan bahwa sangat gembira menerimanya, dan bermohon perkenaan untuk kembali dan kelak kembali untuk menjemput puterinya.
Arung Pangi dan pengiringnya kembali ke Pangi dan langsung mengirim utusan menyampaikan kepada Arung Alekale dan seluruh kerabat untuk berkumpul dan membicarakan tawaran To Sangiang. Hasil pertemuan keluarga itu adalah melamar dan menikahkan puteri To Sangiang itu dengan putera Arung Alekale. Berdasarkan kesepakatan itu berangkatlah rombongan ke tempat kediaman To Sangiang untuk melamar dan menikahkan putera Arung Alekale dengan puteri To Sangiang. Kehadiran rombongan Arung Alekale dan Arung Pangi itu disambut gembira sehingga rencana peminangan dan pernikahan juga langsung diselenggarakan. Arung Alekale memberi gelar Arung Riale-alena setelah menantunya tiba ke negerinya.
Keluarga To Sangiang setelah beberapa waktu pasca pernikahan anak putrinya, dengan anak putera Arung Alekake, mereka pun berhijrah untuk turun gunung dengan membawa istrinya dan anak putranya sebanyak tiga orang. Merekapun berkelana dari satu tempat ketempat lain untuk mencari daerah pemukiman yang baru dan bisa mendatangkan kemakmuran diantara mereka. Setelah lama memcari dan memilih daerah yang cocok akhirnya mereka memilih dan menetap pada suatu daerah yang disebutnya Rittampawali, kemudian ditempat itu mereka membuka lahan pertaniah sawah dengan sebutan La Ponrang. Keluarga ini semakin lama semakin senang dan makmur membuka lahan pertanian. Tetapi keharmonisan itu mulai terusik ketika anaknya yang sulung berselisi paham dan bertengkar dengan adiknya berkaitan dengan lahan yang mereka kerjakan dan alat yang mereka gunakan seperti bajak (rakkala) dan garu (salaga). Untuk mencegah pertikaian itu berlarut dan menimbulkan dampak negatif yang lebih keras, To Sangiang memerintahkan puteranya yang sulung pindah ke selatan dan mengolah lahan pertanian disekitar Gunung Sangaji dan adiknya pindah ke bagian utara di daerah Soga. Sementara puteranya yang bungsu tetap tinggal bersama orang tuanya.
Solusi yang ditempuh To Sangiang untuk memisahkan anaknya didalam penggarapan lahan dan peralatan ternyata tidak menjamin terciptanya ketemtraman dan kedamaian diantara mereka, terbukti ketika sang kakak datang merusak lahan pertanian dan peralatan yang dipakai adiknya. Tindakan itu menimbulkan amarah sang adik maka terjadi lagi pertengkaran dan perselisihan. Kondisi perselisihan itu bukan hanya mengecewakannya tetapi juga mendorong sang ayah memandang bahwa tempat ini sesungguhnya bukan tempat yang pantas bagi keluarganya sehingga berniat untuk meninggalkannya dan mencari tempat yang baru.
Akhirnya disepekati untuk pindah ke tempat yang baru, dekat dengan daerah pesisiran. Tempat itu dinamai La Poncing. To Sangiang membuka areal persawahan yang dinamai La Mangngade, sementara puteranya yang sulung membuka lahan pertanian sawah di bagian selatan sawah ayahnya (selatan La Mangngade), putera keduanya membuka sawah di daerah Ujungnge, dan putera bungsunya membuka lahan pertanian sawah di Samaran. Kemudian keseluruhan lahan itu diberinya nama Arung Nionjo, yang kemudian berubah dan diabadikan menjadi kerajaan Agangnionjo. Kehidupan mereka tentram dan memperoleh hasil usaha yang berlimpah karena seluruh lahan kosong berhasil dikelola menjadi lahan poertanian. Mereka bersyukur bahwa di tempat pemukiman yang baru ini mereka boleh mendapatkan rezeki yang halal dari sang Dewata.
Kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kehormonisan itu ternyata tidak dapat dipertahankan terus. Berselang beberapa tahun kemudian terjadi lagi pertengkaran dan perselisihan antara puteranya yang sulung dengan adiknya. Pertengkaran dan perselisihan itu semakin hari semakin meningkat intensitasnya dan mengarah pada tindakan kekerasan untuk saling membunuh. Solusi yang dilakukan oleh To Sangian seperti tempo yang lalu agaknya masih kurang memuaskan sehingga To Sangiang mencari solusi yang lain.
Namun uniknya solusi yang dilakukan ini juga sangat berbeda pada kenyataan proses penyelesaian konflik atau khaos internal untuk mencapai kedamaian, ketemtraman dan kemakmuran bersama di Sulawesi Selatan, yaitu munculnya konsep Tu Manurung sebagai juru selamat yang kebanyakan terjadi pada kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Dimana To Sangian hanya mencari bantuan kepada raja Sigeri (Karaeng Sigeri). Yang ketika itu menjabat sebagai Karaeng Sigeri adalah seorang keponakan dari Raja Gowa X, I Manriwa Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565). Ketika To Sangiang meminta bantuan tersebut Karaeng Sigeri menerima baik tawaran itu dan menyatakan bersedia membantu menyelesaikan perselisihan yang terjadi di Angangnionjo akan tetapi tidak seketika itu juga memenuhi permintaan itu oleh karena ketika itu rakyatnya telah memulai mengolah lahan pertanian.
Apa yang dilakukan oleh Karaeng Sigeri untuk tidak lansung ke Agangnionjo untuk menyelesaikan perselisihan itu karena dalam tradisi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Sigeri dan Tanete pada khususnya bahwa keberhasilan suatu usaha pertanian maupun perikanan ditentukan oleh perilaku politik pemimpin dan aparat pemerintahannya. Jika penguasa dan aparat pemerintahannya berperilaku yang baik dan mengayomi rakyatnya maka pasti hasil pertanian dan perikanan akan melimpah, dan jika sebaliknya maka kegagalan yang akan dicapai. Disini juga mengisyaratkan bahwa kepatuhan dan loyalitas rakyat sangat ditentukan baik tidaknya perilaku raja. Itulah sebabnya dalam masyarakat ini terdapat ungkapan kepada penguasa yang menyatakan “ jika panen gagal dan ikan menghilang dari perairan maka sayangilah dirimu sendiri “, yang maksudnya adalah jika usaha pencarian nafkah rakyat tidak berhasil berarti penguasa dan aparatnya telah melakukan perbuatan tercelah sehingga rakyat pasti akan meninggalkan mereka. Maka dengan demikian raja diharapakan supaya menyelamatkan, menjaga dan menyayangi dirinya sendiri agar ketemtraman dan kemakmuran bersama selalu hadir dan melekat pada semua rakyat atas izin Dewata.
Setelah selesai panen di Sigeri sebagaimana janji Karaeng Sigeri untuk datang di Agangnionjo dalam menyelesaikan perselisihan yang mengara keperkelahihan saling membunuh. Akhirnya Karaeng Sigeri memenuhi janjinya dan berkunjung ke Agangnionjo. Dalam menangani perselisihan itu Karaeng Sigeri mengambil langkah-langkah yang bersifat persuasif. Langkah dan strategi penyelesaian persoalan persengketaan dan perselisihan itu memberi hasil yang mengembirakan karena berbagai pihak yang bersengketa merasa puas dan menerima tawaran perdamaian. Sebagai tanda ucapan terima kasih dan keinginan untuk mendekatkan kerajaan Sigeri dengan Agangnionjo, merekapun bersepakat untuk saling melengkapi dan bekerja sama dan atas saran Karaeng Sigeri supaya Agangnionjo juga menjalin hubungan baik kepada kerajaan Makassar (Gowa-Tello) Karena ia sendiri adalah keluarga penguasa Kerajaan Gowa. Setelah menyelesaikan perselisihan itu Karaeng Sigeri beserta pengiringnya memohon diri kembali ke negerinya.
Atas keberhasilan Karaeng Sigeri menyelesaikan perselisihan di Agangnionjo itu tidak hanya memberikan kepuasan dan kegembiraan To Sangiang dan kerabatnya tetapi juga kagum atas kepemimpinannya. Oleh karena itu, To Sangiang bersama warga Agangnionjo pada umumnya bersepakat untuk memohon kepada Karaeng Sigeri agar bersedia menetap di Agangnionjo dan sekaligus menjadi Raja Agangnionjo. Kemudian rencana itu dilakukan dengan mengutus To Sangiang sendiri bersama istrinya menemui dan menyampaikan keinginannya bersama semua warga Agangnionjo itu.
Apa yang menjadi keinginan To Sangiang itu ternyata Karaeng Sigeri bersedia menerima amanah itu. Karaeng Sigeri dan pembesar-pembesar kerajaan termasuk permaisuri mempersiapkan diri dan berangkat bersama dengan diiringi pula dengan sejumlah matowanya ke Agangnionjo dan menetap dikediaman Ta Sangiang di BatuleppanaE (La Ponceng). Pelantikanpun segera dilaksanakan yang disaksikan oleh semua warga masyarakat Agangnionjo termasuk mengundang Arung Pangi dan Arung Alekale. Dalam rangkaian pelantikan itu pula To Sangiang menyampaikan permohonan atas nama Masyarakat Agangnionjo bahwa: “kami semua keluarga dan kerabat memohon diberkati, dikasihani, dan tidak putus-putusnya dilindungi oleh paduka raja tuanku, seperti haknya dengan orang-orang Sigeri“. To Sangiang melantik Arung Sigeri menjadi raja Agangnionjo yang pertama dengan diberi gelar Datu GollaE (1552-1564).
Setelah pelantikan itu, dibangunkanlah istana untuk Datu GollaE pada areal perbukitan di daerah La Ponceng. Sebagai tanda kehormatan dan kesetiaan pada raja, para ketua kaum, Arung Pangi dan Arung Alekale, dan keluarga To Sangiang datang menghantarkan persembahan (kasuwiyang). Persembahan atau kasuwiyang itu yang umumnya merupakan hasil produksi rakyat itu tidak hanya memiliki nilai ekonomis bagi penguasa tetapi juga terkandung nilai relegius yang menempatkan sang penguasa sebagai pemengang kendali politik yang dianugerahkan Dewata untuk memimpin rakyatnya hidup dengan tentram dan sejahtera. Dalam masyarakat tradisional seorang raja (penguasa) dipandang pula memiliki dan menguasai kekuatan-kekuatan supernatural yang mampu dimanfaatkan untuk menciptakan tertib alam sehinggan memungkinkan keberhasilan usaha rakyatnya baik dalam bidang pertanian maupun bidan perikanan.
Karaeng Sigeri dalam melaksanakan roda pemerintahannya di Agangnionjo, dia membentuk perwakilan pemerintahan dengan sebutan Pangara-Wampang Puang Lolo Ujung yang diberikan kepada anak tertua To Sangian. Agangnionjo pada masa itu mengalami perkembangan dan kemajuan serta kemakmuran yang sangat pesat. Setelah puluhan tahun lama Dutu Gollae memerintah, diapun menemui ajalnya dan digantikan oleh Pangara-Wampang Puang lolo Ujung. Tetapi baru saja satu tahun dia memerintah dan mengendalikan kerajaan Agangnionjo, dia mendapat cobaan yang sangat besar karena tanaman pada mati dan ikanpun berkurang sehingga rakyat menderita kelaparan yang hebat. Pangara-Wampang ini sangat menyesal menjadi raja karena dia merasa bukan keturunan raja sampai dia pergi mengasingkan diri dan mengundurkan diri. Akhirnya dia digantikan oleh MantinroE ri Ribokokajurugna yang masih keturunan Datu GollaE.
Tanaman dan perikananpun hasilnya kembali meningkat sehingga masyarakat Agangnionjo kembali menjadi makmur pula. Raja ini memerintah agak lama sampai dia menemui ajalnya dan digantikan oleh Raja Daeng Ngasseng yang mengikuti jejak MantiroE ri Bokokajurugna. Pada masa ini dibentuk jabatan pabbicara yang dijabat oleh La pammuda keturunan To Sangiang. Pada Masa ini pula terjadi Perang Agangnionjo, yaitu perang antara kerajaan Agangnionjo dengan Addatuang (Raja) Sawitto yang mula-mula ingin datang menentang kerajaan Gowa atas berbagai kebijakannya yang dianggap tidak banyak menguntungkan kerajaan Sawitto tetapi pasukan mereka dinasehati oleh raja Agangnionjo supaya jangan melanjutkan tujuannya ke Gowa untuk berperang. Nasehat itu tidak diperdulikan dan bersikuku untuk tetap ke Gowa sehingga perangpun tidak bisa dikendalikan dan berlansung beberapa hari. Atas kemenangan Perang itu, Agangnionjo diberi peridikat kerajaan sekutu saudara dan diberi berbagai kemudahan dan kebebasan perdagangan termasuk bea-bea perdagangan.
Pada masa pemerintahan Daeng Ngasseng, orang-orang Malaka, Melayu dan Minagkabau berdatangan mencari tempat tinggal dan menetap dalam daerah kerajaan Agangnionjo. Ketika dia memerintah beberapa tahun dengan kemajuan yang sangat pesat diapun menemui ajalnya dengan tenang dan digantikan oleh To ri Jallo ri Addenenna (tidak diketahui nama aslinya). Tidak lama kemudian diapun menemui ajalnya dan digantikan oleh Daeng Sinjai (tidak diketahui nama lengkapnya). Dia raja yang sangat terkenal karena kejujuran dan kepintarannya, suka bermusyawarah dengan pembesar-pembesar kerajaan termasuk punya hobi berburu. Masa pemerintahan Daeng Sinjai ini penduduk Agangnionjo semakin meningkat seiring dengan peningkatan dan kemajuan kemakmuran. Setelah beliau wafat, dia digantikan oleh To Maburu Limanna. Tumaburu Limananna (1597-1603) menduduki takta kerajaan mengantikan Daeng Sanjai.
Meskipun ia adalah raja yang mewariskan kekayaan dan kemakmuran yang dihasilkan berkat kerja dan karier pendahulunya, namun tetap terus bergiat memajukan ketentraman dan kesejahtraan rakyat. Oleh karena itu, sebagai pelanjut pemerintahan, ia sangat memperhatikan aktivitas penduduknya baik dalam kegiatan pertanian, perikanan dan peternakan, maupun dalam dunia perdagangan maritim. Kegiatan perdagangan maritim kerajaan ini berkembang pesat dan bahkan tampil menjadi penyanggah utama dalam mensuplai kebutuhan pangan, seperti beras dan ternak potong bagi penduduk dan perdagangan Makassar. Kemajuan yang dicapai itu bukan karena mendapat hak istimewa, dalam bentuk bebas pajak pelabuhan dan pajak perdagangan dari pemerintah Makassar, tetapi juga terutama didukung oleh produksi negerinya. Selain itu juga tidak ada pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi yang berkembang, sejak Karaeng Tunipalangga Ulaweng melancarkan ekspedisi penaklukan dan mengangkat orang dan barang dari kerajaan-kerajaan yang terlibat dalam dunia perdagangan maritim ke Makassar. Jauh sebelumnya dapat dicatat antara lain pelabuhan Siang, Bacokiki, Suppa, dan Nepo.
Keterlibatan dalam dunia perdagangan maritim itu berhasil memikat banyak pedangan berkunjung ke bandar niaganya, termasuk pedangan Portugis. Di daerah ini pedangan Portugis dikenal dengan sebutan Parengki. Kelompok pedagan ini juga mendapat izin dari raja mendirikan lojinya dipemukimannya yang dikenal dengan sebutan Laparengki, yang terletak sebelah selatan hulu Sungai Lajari. Kehadiran pedangan Portugis itu tentu bukan berkaitan dengan perdangangan rempah-rempah, tetapi terutama pada produksi pangan dari kerajaan ini, seperti beras dan ternak potong. Selain itu juga pada periodenya datang satu perahu dagang dari Johor yang membawa puteri raja Johor, yang melarikan diri karena terjadi perebutan kekuasaan di negerinya. Rombongan puteri Johor itu diterima dengan senang hati dan diberikan tempat pemukiman yang disebut Pancana.
Meskipun kerajaan ini berhasil membangun dan mengembangkan bandar niaga dan terlibat dalam perdagangan maritim, namun demikian tetap menjalin hubungan komersialnya dan hubungan persekutuannya dengan kerajaan Makassar. Oleh karena itu setiap tahun raja Agangnionjo melakukan kunjungan kerajaan ke Sombaopu. Pada suatu kunjungannya ke Sombaopu, datang pula Opu Tanete (Selayar) menghadap raja Makassar yang menyampaikan bahwa ia datang membawa duni (peti mayat) yang berisi jenazah putera raja Luwu yang bernama LasoE, yang mati terdarmpar akibat perahu daganganya tenggelam di perairan Selayar. Sehungan dengan itu raja Makassar memohon kepada Tomaburu Limananna, kiranya bersedia menemani Opu Tanete bersama pengiring jenazahnya untuk mengantar jenazah itu. Peti jenazah itu dijaga bersama oleh pengiring mereka masing-masing, sambil mempersiapkan tenaga untuk mengusung peti jenazah itu ke tempat tujuan.
Dalam merancang pengusungan jenazah itu dicapai kesepakatan untuk menetapkan bahwa iring-iringan itu adalah iring-iringan Kerajaan Tanete, meskipun dikawal oleh raja Anangnionjo dan Opu Tanete (Selayar). Tampaknya dua pengiring dengan satu nama itu menumbuhkan rasa persaudaraan diantara mereka dan memang atas saran raja Gowa supaya mereka dipersaudarakan. Oleh karena itu sekembali dari Luwu, dua raja itu berikrar membentuk persekutuan dan persaudaraan yang isi pokoknya adalah: “ jika rakyat Agangnionjo bepergian ke Tanete (Selayar) maka dia menjadi orang Tanete, demikian pula sebaliknya. Juga bila armada raja Agangnionjo berada di perairan Tanete (Selayar), meskipun dalam keadaan tergesah-gesah, wajib singgah walaupun hanya sejenak, demikian pula sebaliknya dan sejak itulah nama Kerajaan Agangnionjo di ubah menjadi Kerajaan Tanete.
Dalam perkembangan kemudian nama ini dipandang lebih cocok digunakan untuk menyebut nama Agangnionjo karena ketika itu wilayah Kerajaan Agangnionjo juga sudah tidak hanya mencakup wilayah awal kerajaan itu. Wilayah kerajaan pada periode To Maburu Limananna telah meliputi: Alekale, Punranga, Tinco, Ajangbulu, Dengedenge, Gattareng, Barang, Salompuru, Wanuwa Waru, Pange, Pangi, Beruru, Lemo, Belleyanging, Reya, Mameke, Ampiri, Balenrang, Salomoni, Boli dan Cenekko. Sementara beberapa daerah yang digabungkan kepada Tanete adalah: Lipukasi, Lalolang, Paopao, Palluda, Laponccing, dan Lembang. Sementara daerah yang bernaung pada Pancana adalah Baramase.
Raja ini tergolong raja yang sangat murah hati dan mengasihi rakyatnya. Dia dikenal senang dan suka menolong orang yang mengalami kesusahan, baik itu rakyatnya maupun abdi dalamnya. Itulah pula sebabnya ia membebaskan para tahanan raja Torijallo ri Adenenna dan diberikan tempat pemukiman bagi mereka. Tempat pemukinan itu diberi nama Lipukasi. Sikap murah hati itu menyebabkan raja ini sangat disenangi dan dicintai oleh rakyatnya.
Konstelasi politik kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada masa lampau selalu punya kecenderungan untuk menyelesaikan masalah lewat pihak ketiga dengan apa yang disebut Tu Manurung seperti yang terjadi di Gowa, Bone, Wajo, Luwu, Soppeng dan lain-lain. Namun ada juga variasi tertentu walaupun kemunculannya juga diawali adanya konflik internal dalam kerajaan bersangkutan seperti yang terjadi di Tanete. Sehingga permasalahan yang belum terjawab secara tuntas sampai sekarang adalah “kenapa To Manurung selalu muncul pada saat kerajaan itu dalam keadaan konflik, dan apakah itu merupakan konspirasi politik?” Paper ini bukan menjawab pertanyaan itu tetapi mendiskusikan pertanyaan tersebut dengan menampilkan kasus Tu Manurung di Bone dengan kasus To Sangiang di Tanete.
Tu Manurung di Bone diawali dengan mitologi yang tidak berangka tahun, walaupun diperkirakan bahwa To Manurung proses rawal munculnya terjadi sekitar abad XIII dan abad XIV. Demikian juga di Bone tidak ada angka tahun yang pasti kecuali dikisahkan bahwa Tu Manurung muncul pada saat kerajaan kosong dalam jabatan raja karena tujuh unit kerajaan yang ada di Bone selalu sulit menentukan pilihan siapa yang paling layak memegang tahta kerajaan. Kondisi itu berlarut-larut sampai datangnya Tu Manurung. Dimana dikisahkan bahwa kedatangan Tu Manurung diawali dengan hujan ribut, guntur menggelegar yang tiada henti-hentinya selama sepekan disertai angin kencang sehingga terjadi gempa. Dan setelah berhenti gempa, nampaklah salah seorang yang berpakaian putih-putih di suatu tanah lapang di Bone dan tidak ada yang mengetahui identitasnya sehingga di beri nama Tu Manurung (orang yang turun dari kayangan). Pada saat orang-orang Bone memintanya Tu Manurung untuk menjadi raja di Bone, tiba-tiba orang itu berkata bahwa permintaanmu itu baik sekali dan mulia tetapi kalian salah karena saya juga hanyalah hamba, namun jika rajaku yang kalian maksud dan minta, maka baiklah kiranya saya antar kesana.
Dalam perjalanan menuju tempat yang dimaksud pada waktu itu juga datang angin kencang, kilat, petir dan guntur bersambut- sambutan. Setelah sampai di Matajang, tempat yang dimaksud maka terlihatlah oleh orang banyak rombongan pembesar dari Bone seorang laki-laki duduk berpakaian kuning di sebuah batu “Napara” beserta tiga orang pengikutnya yang duduk di dekatnya. Ketiga orang itu masing-masing punya pegangan, satu memegang payung memayungi orang yang perpakaian kuning itu, satu memegang kipas dan yang satu memegang “salenrang” (puan atau tempat sirih). Pada saat itulah terjadi tawar menawar kepentingan demi kerajaan Bone, dan terwujudlah kontrak perjanjian antara Tu Manurung sebagai raja dengan rakyat Bone. Inilah awal integrasi kerajaan Bone dari tujuh unik kerajaan yang ada, dan keturunan Tu Manurung tersebut mewarisi tahta kerajaan berikutnya.
Hal yang menarik pula untuk dibandingkan dengan Tu Manurung adalah To Sangiang pada masa awal kerajaan Tanete. Perbandingan yang dimaksud disini adalah masalah konflik internal kerajaan tanete dengan munculnya To Sangiang, sebab kalau yang diperbandingkan mengenai periodesasi proses awal keberadaan To Manurung di kebanyakan kerajaan di Sulawesi selatan dengan periodesasi proses awal kemunculan To Sangiang di kerajaan Tanete merupakan periode yang berbeda. To Manurung banyak di beritakan muncul sekitar abad XIII dan abad XIV, sementara To Sangiang di Tanete muncul sekitar abad XV atau abad XVI. Namun masa awal kerajaan Tanete juga mengisyaratkan cerita mitologis tetapi sangat berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi selatan. Kalau kerajaan lain pada umumnya melahirkan tokoh Tu Manurung dari dunia atas maka di Tanete melahirkan tokoh dengan sebutan To Sangiang dari dunia bawah yang ditandai dengan adanya ciri-ciri berupa air dalam Balubu yang selalu penuh dengan air dan ikan yang banyak yang sewaktu-waktu dibawahkan oleh burung-burung yang mengabdi padanya di atas Gunung Pangi.
Keluarga To Sangiang inilah yang nantinya membuka lahan pertanian yang cukup subur yang mendatangkan kemakmuran dan tempat itu tidak begitu jauh dari laut dengan sebutan Arung Nionjo, kemudian menjadi Agang Nionjo dan selanjutnya diabadikan menjadi kerajaan Agangnionjo sebagai cikal bakal kerajaan Tanete nantinya pada masa pemerintahan Raja VII Tu Maburu Limanna. Pada masa terbentuknya kerajaan Agangnionjo sampai pada masa pemerintahan Tu Maburu Limanna yang kami anggap sebagai masa awal kerajaan Tanete karena pada masa itu nama kerajaan Agangnionjo berubah menjadi kerajaan Tanete.
Dalam tradisi lisan masyrakat Tanete yang kita kenal sekarang dimana pada masa lampau di daerah tersebut diceritakan adanya beberapa kerajaan yang sudah eksis dengan sebutan ke-Arungan atau wilayah kekuasaan seseorang penguasa yang di sebut Arung. Adapun Arung yang sangat terkenal pada masa itu ialah Arung Pangi dan Arung Alekale. Dimana dikisahkan Arung Pangi bersama pengiringnya melakukan perburuan di kawasan pegunungan Pangi. Pada saat mereka mencapai puncak gunung di daerah jangang-jangangnge dijumpai sebuah tempayan (balubu) yang berisi air, suatu pertanda bahwa ada penghuni di tempat itu. Dugaan itu ternyata benar. Mereka menemukan sepasang suami- istri sedang duduk dan di sekitarnya beterbangan burung-burung Bangau yang datang menghampiri mereka dengan membawa ikan. Ikan-ikan mentah yang dibawa burung-burung itu diberikan kepada pasangan suami-istri itu sebagai makanan mereka.
Kenyataan itu merangsang rasa ingin tahu Arung Pangi dan pengiringnya sehingga datang menghampiri pasangan suami-istri itu dan bertanya tentang asal-usulnya. Jawaban yang diperoleh bahkan menimbulkan pemikiran mitis, karena mereka hanya menyatakan bahwa mereka tinggal di puncak gunung ini atas kehendak sang Dewata, dan asal mula datangnya mereka itu sama seperti orang yang lain dari arah penjuru mata angin, barat, timur, selatan, atau utara. Arung Pangi selanjutnya menyuruh pengiringnya menyiapkan perbekalan yang dibawa untuk makan bersama termasuk mengajak pasangan suami-istri tersebut. Ajakan itu dijawab dengan ramah tama “silakan makan dan silakan gunakan air dalam tempayan itu. Kami tidak makan nasi tetapi hanya memakan ikan mentah yang dibawakan burung-burung itu”.
Jawaban itu menimbulkan pertanyaan siapa gerangan sesungguhnya pasangan suami-istri ini. Apakah mereka orang yang diturunkan dari dunia atas (boting langi) yang sering disebut Tumanurung karena berada di puncak gunung ataukah orang yang dimunculkan dari dunia bawah (paratiwi) melalui laut yang biasa disebut Tautompo karena hanya memakan ikan mentah. Persoalan itu yang mendorong Arung pangi dan pengiringnya menyebut pasangan suami istri itu To Sangiang. Setelah bersantap, Arung Pangi memohon pada To Sangiang itu untuk turun ke Gunung dan menetap di Pangi tetapi ajakan itu dijawab dengan mengatakan bahwa kami akan turun kelak jika Dewata mengizinkan. Lalu Arung Pangi pun minta pamit seraya berharap bahwa suatu saat nanti kita dipertemukan kembali.
Setelah Arung Pangi sampai di kerajaannya mereka pun memberitahukan kepada Arung Alekale, sehingga bersepakatlah Arung Pangi dan Arung Alekale untuk menemui Tosangiang dan mereka bertemu. Kemudian Arung Pangi menyampaikan kepada To Sangiang bahwa ia datang bersama kerabatnya Arung Alekale, yang juga berkeinginan untuk menjalin persahabatan. Arung Alekale menyambung pembicaraan itu dengan menawarkan kepada To Sangiang kiranya berkenan dapat tinggal di negerinya, dan menjalin hubungan kekeluargaan. Dengan demikian kita mendapatkan berkat dan rahmat Dewata. Namun To Sangiang merespon tawaran itu dengan jawaban seperti yang perna diutarakan kepada Arung Pangi sebelumnya. akhirnya mereka pulang kembali ke negeri tanpa disertai Tosangiang.
Hasrat Arung Pangi untuk mengajak turun To Sangiang akan segera terkabul sebab To Sangiang juga memiliki hasrat yang sama agar supaya anak perempuannya dapat dipersunting oleh putra Arung Pangi. Ketika hasrat To Sangiang disampaikan kepada Arung Pangi kala kunjungan pertemuan ketiganya, ditanggapi dan disambut dengan senang hati oleh Arung Pangi walaupun Arung Pangi tidak punya putra dengan menyatakan bahwa sangat gembira menerimanya, dan bermohon perkenaan untuk kembali dan kelak kembali untuk menjemput puterinya.
Arung Pangi dan pengiringnya kembali ke Pangi dan langsung mengirim utusan menyampaikan kepada Arung Alekale dan seluruh kerabat untuk berkumpul dan membicarakan tawaran To Sangiang. Hasil pertemuan keluarga itu adalah melamar dan menikahkan puteri To Sangiang itu dengan putera Arung Alekale. Berdasarkan kesepakatan itu berangkatlah rombongan ke tempat kediaman To Sangiang untuk melamar dan menikahkan putera Arung Alekale dengan puteri To Sangiang. Kehadiran rombongan Arung Alekale dan Arung Pangi itu disambut gembira sehingga rencana peminangan dan pernikahan juga langsung diselenggarakan. Arung Alekale memberi gelar Arung Riale-alena setelah menantunya tiba ke negerinya.
Keluarga To Sangiang setelah beberapa waktu pasca pernikahan anak putrinya, dengan anak putera Arung Alekake, mereka pun berhijrah untuk turun gunung dengan membawa istrinya dan anak putranya sebanyak tiga orang. Merekapun berkelana dari satu tempat ketempat lain untuk mencari daerah pemukiman yang baru dan bisa mendatangkan kemakmuran diantara mereka. Setelah lama memcari dan memilih daerah yang cocok akhirnya mereka memilih dan menetap pada suatu daerah yang disebutnya Rittampawali, kemudian ditempat itu mereka membuka lahan pertaniah sawah dengan sebutan La Ponrang. Keluarga ini semakin lama semakin senang dan makmur membuka lahan pertanian. Tetapi keharmonisan itu mulai terusik ketika anaknya yang sulung berselisi paham dan bertengkar dengan adiknya berkaitan dengan lahan yang mereka kerjakan dan alat yang mereka gunakan seperti bajak (rakkala) dan garu (salaga). Untuk mencegah pertikaian itu berlarut dan menimbulkan dampak negatif yang lebih keras, To Sangiang memerintahkan puteranya yang sulung pindah ke selatan dan mengolah lahan pertanian disekitar Gunung Sangaji dan adiknya pindah ke bagian utara di daerah Soga. Sementara puteranya yang bungsu tetap tinggal bersama orang tuanya.
Solusi yang ditempuh To Sangiang untuk memisahkan anaknya didalam penggarapan lahan dan peralatan ternyata tidak menjamin terciptanya ketemtraman dan kedamaian diantara mereka, terbukti ketika sang kakak datang merusak lahan pertanian dan peralatan yang dipakai adiknya. Tindakan itu menimbulkan amarah sang adik maka terjadi lagi pertengkaran dan perselisihan. Kondisi perselisihan itu bukan hanya mengecewakannya tetapi juga mendorong sang ayah memandang bahwa tempat ini sesungguhnya bukan tempat yang pantas bagi keluarganya sehingga berniat untuk meninggalkannya dan mencari tempat yang baru.
Akhirnya disepekati untuk pindah ke tempat yang baru, dekat dengan daerah pesisiran. Tempat itu dinamai La Poncing. To Sangiang membuka areal persawahan yang dinamai La Mangngade, sementara puteranya yang sulung membuka lahan pertanian sawah di bagian selatan sawah ayahnya (selatan La Mangngade), putera keduanya membuka sawah di daerah Ujungnge, dan putera bungsunya membuka lahan pertanian sawah di Samaran. Kemudian keseluruhan lahan itu diberinya nama Arung Nionjo, yang kemudian berubah dan diabadikan menjadi kerajaan Agangnionjo. Kehidupan mereka tentram dan memperoleh hasil usaha yang berlimpah karena seluruh lahan kosong berhasil dikelola menjadi lahan poertanian. Mereka bersyukur bahwa di tempat pemukiman yang baru ini mereka boleh mendapatkan rezeki yang halal dari sang Dewata.
Kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kehormonisan itu ternyata tidak dapat dipertahankan terus. Berselang beberapa tahun kemudian terjadi lagi pertengkaran dan perselisihan antara puteranya yang sulung dengan adiknya. Pertengkaran dan perselisihan itu semakin hari semakin meningkat intensitasnya dan mengarah pada tindakan kekerasan untuk saling membunuh. Solusi yang dilakukan oleh To Sangian seperti tempo yang lalu agaknya masih kurang memuaskan sehingga To Sangiang mencari solusi yang lain.
Namun uniknya solusi yang dilakukan ini juga sangat berbeda pada kenyataan proses penyelesaian konflik atau khaos internal untuk mencapai kedamaian, ketemtraman dan kemakmuran bersama di Sulawesi Selatan, yaitu munculnya konsep Tu Manurung sebagai juru selamat yang kebanyakan terjadi pada kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Dimana To Sangian hanya mencari bantuan kepada raja Sigeri (Karaeng Sigeri). Yang ketika itu menjabat sebagai Karaeng Sigeri adalah seorang keponakan dari Raja Gowa X, I Manriwa Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565). Ketika To Sangiang meminta bantuan tersebut Karaeng Sigeri menerima baik tawaran itu dan menyatakan bersedia membantu menyelesaikan perselisihan yang terjadi di Angangnionjo akan tetapi tidak seketika itu juga memenuhi permintaan itu oleh karena ketika itu rakyatnya telah memulai mengolah lahan pertanian.
Apa yang dilakukan oleh Karaeng Sigeri untuk tidak lansung ke Agangnionjo untuk menyelesaikan perselisihan itu karena dalam tradisi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Sigeri dan Tanete pada khususnya bahwa keberhasilan suatu usaha pertanian maupun perikanan ditentukan oleh perilaku politik pemimpin dan aparat pemerintahannya. Jika penguasa dan aparat pemerintahannya berperilaku yang baik dan mengayomi rakyatnya maka pasti hasil pertanian dan perikanan akan melimpah, dan jika sebaliknya maka kegagalan yang akan dicapai. Disini juga mengisyaratkan bahwa kepatuhan dan loyalitas rakyat sangat ditentukan baik tidaknya perilaku raja. Itulah sebabnya dalam masyarakat ini terdapat ungkapan kepada penguasa yang menyatakan “ jika panen gagal dan ikan menghilang dari perairan maka sayangilah dirimu sendiri “, yang maksudnya adalah jika usaha pencarian nafkah rakyat tidak berhasil berarti penguasa dan aparatnya telah melakukan perbuatan tercelah sehingga rakyat pasti akan meninggalkan mereka. Maka dengan demikian raja diharapakan supaya menyelamatkan, menjaga dan menyayangi dirinya sendiri agar ketemtraman dan kemakmuran bersama selalu hadir dan melekat pada semua rakyat atas izin Dewata.
Setelah selesai panen di Sigeri sebagaimana janji Karaeng Sigeri untuk datang di Agangnionjo dalam menyelesaikan perselisihan yang mengara keperkelahihan saling membunuh. Akhirnya Karaeng Sigeri memenuhi janjinya dan berkunjung ke Agangnionjo. Dalam menangani perselisihan itu Karaeng Sigeri mengambil langkah-langkah yang bersifat persuasif. Langkah dan strategi penyelesaian persoalan persengketaan dan perselisihan itu memberi hasil yang mengembirakan karena berbagai pihak yang bersengketa merasa puas dan menerima tawaran perdamaian. Sebagai tanda ucapan terima kasih dan keinginan untuk mendekatkan kerajaan Sigeri dengan Agangnionjo, merekapun bersepakat untuk saling melengkapi dan bekerja sama dan atas saran Karaeng Sigeri supaya Agangnionjo juga menjalin hubungan baik kepada kerajaan Makassar (Gowa-Tello) Karena ia sendiri adalah keluarga penguasa Kerajaan Gowa. Setelah menyelesaikan perselisihan itu Karaeng Sigeri beserta pengiringnya memohon diri kembali ke negerinya.
Atas keberhasilan Karaeng Sigeri menyelesaikan perselisihan di Agangnionjo itu tidak hanya memberikan kepuasan dan kegembiraan To Sangiang dan kerabatnya tetapi juga kagum atas kepemimpinannya. Oleh karena itu, To Sangiang bersama warga Agangnionjo pada umumnya bersepakat untuk memohon kepada Karaeng Sigeri agar bersedia menetap di Agangnionjo dan sekaligus menjadi Raja Agangnionjo. Kemudian rencana itu dilakukan dengan mengutus To Sangiang sendiri bersama istrinya menemui dan menyampaikan keinginannya bersama semua warga Agangnionjo itu.
Apa yang menjadi keinginan To Sangiang itu ternyata Karaeng Sigeri bersedia menerima amanah itu. Karaeng Sigeri dan pembesar-pembesar kerajaan termasuk permaisuri mempersiapkan diri dan berangkat bersama dengan diiringi pula dengan sejumlah matowanya ke Agangnionjo dan menetap dikediaman Ta Sangiang di BatuleppanaE (La Ponceng). Pelantikanpun segera dilaksanakan yang disaksikan oleh semua warga masyarakat Agangnionjo termasuk mengundang Arung Pangi dan Arung Alekale. Dalam rangkaian pelantikan itu pula To Sangiang menyampaikan permohonan atas nama Masyarakat Agangnionjo bahwa: “kami semua keluarga dan kerabat memohon diberkati, dikasihani, dan tidak putus-putusnya dilindungi oleh paduka raja tuanku, seperti haknya dengan orang-orang Sigeri“. To Sangiang melantik Arung Sigeri menjadi raja Agangnionjo yang pertama dengan diberi gelar Datu GollaE (1552-1564).
Setelah pelantikan itu, dibangunkanlah istana untuk Datu GollaE pada areal perbukitan di daerah La Ponceng. Sebagai tanda kehormatan dan kesetiaan pada raja, para ketua kaum, Arung Pangi dan Arung Alekale, dan keluarga To Sangiang datang menghantarkan persembahan (kasuwiyang). Persembahan atau kasuwiyang itu yang umumnya merupakan hasil produksi rakyat itu tidak hanya memiliki nilai ekonomis bagi penguasa tetapi juga terkandung nilai relegius yang menempatkan sang penguasa sebagai pemengang kendali politik yang dianugerahkan Dewata untuk memimpin rakyatnya hidup dengan tentram dan sejahtera. Dalam masyarakat tradisional seorang raja (penguasa) dipandang pula memiliki dan menguasai kekuatan-kekuatan supernatural yang mampu dimanfaatkan untuk menciptakan tertib alam sehinggan memungkinkan keberhasilan usaha rakyatnya baik dalam bidang pertanian maupun bidan perikanan.
Karaeng Sigeri dalam melaksanakan roda pemerintahannya di Agangnionjo, dia membentuk perwakilan pemerintahan dengan sebutan Pangara-Wampang Puang Lolo Ujung yang diberikan kepada anak tertua To Sangian. Agangnionjo pada masa itu mengalami perkembangan dan kemajuan serta kemakmuran yang sangat pesat. Setelah puluhan tahun lama Dutu Gollae memerintah, diapun menemui ajalnya dan digantikan oleh Pangara-Wampang Puang lolo Ujung. Tetapi baru saja satu tahun dia memerintah dan mengendalikan kerajaan Agangnionjo, dia mendapat cobaan yang sangat besar karena tanaman pada mati dan ikanpun berkurang sehingga rakyat menderita kelaparan yang hebat. Pangara-Wampang ini sangat menyesal menjadi raja karena dia merasa bukan keturunan raja sampai dia pergi mengasingkan diri dan mengundurkan diri. Akhirnya dia digantikan oleh MantinroE ri Ribokokajurugna yang masih keturunan Datu GollaE.
Tanaman dan perikananpun hasilnya kembali meningkat sehingga masyarakat Agangnionjo kembali menjadi makmur pula. Raja ini memerintah agak lama sampai dia menemui ajalnya dan digantikan oleh Raja Daeng Ngasseng yang mengikuti jejak MantiroE ri Bokokajurugna. Pada masa ini dibentuk jabatan pabbicara yang dijabat oleh La pammuda keturunan To Sangiang. Pada Masa ini pula terjadi Perang Agangnionjo, yaitu perang antara kerajaan Agangnionjo dengan Addatuang (Raja) Sawitto yang mula-mula ingin datang menentang kerajaan Gowa atas berbagai kebijakannya yang dianggap tidak banyak menguntungkan kerajaan Sawitto tetapi pasukan mereka dinasehati oleh raja Agangnionjo supaya jangan melanjutkan tujuannya ke Gowa untuk berperang. Nasehat itu tidak diperdulikan dan bersikuku untuk tetap ke Gowa sehingga perangpun tidak bisa dikendalikan dan berlansung beberapa hari. Atas kemenangan Perang itu, Agangnionjo diberi peridikat kerajaan sekutu saudara dan diberi berbagai kemudahan dan kebebasan perdagangan termasuk bea-bea perdagangan.
Pada masa pemerintahan Daeng Ngasseng, orang-orang Malaka, Melayu dan Minagkabau berdatangan mencari tempat tinggal dan menetap dalam daerah kerajaan Agangnionjo. Ketika dia memerintah beberapa tahun dengan kemajuan yang sangat pesat diapun menemui ajalnya dengan tenang dan digantikan oleh To ri Jallo ri Addenenna (tidak diketahui nama aslinya). Tidak lama kemudian diapun menemui ajalnya dan digantikan oleh Daeng Sinjai (tidak diketahui nama lengkapnya). Dia raja yang sangat terkenal karena kejujuran dan kepintarannya, suka bermusyawarah dengan pembesar-pembesar kerajaan termasuk punya hobi berburu. Masa pemerintahan Daeng Sinjai ini penduduk Agangnionjo semakin meningkat seiring dengan peningkatan dan kemajuan kemakmuran. Setelah beliau wafat, dia digantikan oleh To Maburu Limanna. Tumaburu Limananna (1597-1603) menduduki takta kerajaan mengantikan Daeng Sanjai.
Meskipun ia adalah raja yang mewariskan kekayaan dan kemakmuran yang dihasilkan berkat kerja dan karier pendahulunya, namun tetap terus bergiat memajukan ketentraman dan kesejahtraan rakyat. Oleh karena itu, sebagai pelanjut pemerintahan, ia sangat memperhatikan aktivitas penduduknya baik dalam kegiatan pertanian, perikanan dan peternakan, maupun dalam dunia perdagangan maritim. Kegiatan perdagangan maritim kerajaan ini berkembang pesat dan bahkan tampil menjadi penyanggah utama dalam mensuplai kebutuhan pangan, seperti beras dan ternak potong bagi penduduk dan perdagangan Makassar. Kemajuan yang dicapai itu bukan karena mendapat hak istimewa, dalam bentuk bebas pajak pelabuhan dan pajak perdagangan dari pemerintah Makassar, tetapi juga terutama didukung oleh produksi negerinya. Selain itu juga tidak ada pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi yang berkembang, sejak Karaeng Tunipalangga Ulaweng melancarkan ekspedisi penaklukan dan mengangkat orang dan barang dari kerajaan-kerajaan yang terlibat dalam dunia perdagangan maritim ke Makassar. Jauh sebelumnya dapat dicatat antara lain pelabuhan Siang, Bacokiki, Suppa, dan Nepo.
Keterlibatan dalam dunia perdagangan maritim itu berhasil memikat banyak pedangan berkunjung ke bandar niaganya, termasuk pedangan Portugis. Di daerah ini pedangan Portugis dikenal dengan sebutan Parengki. Kelompok pedagan ini juga mendapat izin dari raja mendirikan lojinya dipemukimannya yang dikenal dengan sebutan Laparengki, yang terletak sebelah selatan hulu Sungai Lajari. Kehadiran pedangan Portugis itu tentu bukan berkaitan dengan perdangangan rempah-rempah, tetapi terutama pada produksi pangan dari kerajaan ini, seperti beras dan ternak potong. Selain itu juga pada periodenya datang satu perahu dagang dari Johor yang membawa puteri raja Johor, yang melarikan diri karena terjadi perebutan kekuasaan di negerinya. Rombongan puteri Johor itu diterima dengan senang hati dan diberikan tempat pemukiman yang disebut Pancana.
Meskipun kerajaan ini berhasil membangun dan mengembangkan bandar niaga dan terlibat dalam perdagangan maritim, namun demikian tetap menjalin hubungan komersialnya dan hubungan persekutuannya dengan kerajaan Makassar. Oleh karena itu setiap tahun raja Agangnionjo melakukan kunjungan kerajaan ke Sombaopu. Pada suatu kunjungannya ke Sombaopu, datang pula Opu Tanete (Selayar) menghadap raja Makassar yang menyampaikan bahwa ia datang membawa duni (peti mayat) yang berisi jenazah putera raja Luwu yang bernama LasoE, yang mati terdarmpar akibat perahu daganganya tenggelam di perairan Selayar. Sehungan dengan itu raja Makassar memohon kepada Tomaburu Limananna, kiranya bersedia menemani Opu Tanete bersama pengiring jenazahnya untuk mengantar jenazah itu. Peti jenazah itu dijaga bersama oleh pengiring mereka masing-masing, sambil mempersiapkan tenaga untuk mengusung peti jenazah itu ke tempat tujuan.
Dalam merancang pengusungan jenazah itu dicapai kesepakatan untuk menetapkan bahwa iring-iringan itu adalah iring-iringan Kerajaan Tanete, meskipun dikawal oleh raja Anangnionjo dan Opu Tanete (Selayar). Tampaknya dua pengiring dengan satu nama itu menumbuhkan rasa persaudaraan diantara mereka dan memang atas saran raja Gowa supaya mereka dipersaudarakan. Oleh karena itu sekembali dari Luwu, dua raja itu berikrar membentuk persekutuan dan persaudaraan yang isi pokoknya adalah: “ jika rakyat Agangnionjo bepergian ke Tanete (Selayar) maka dia menjadi orang Tanete, demikian pula sebaliknya. Juga bila armada raja Agangnionjo berada di perairan Tanete (Selayar), meskipun dalam keadaan tergesah-gesah, wajib singgah walaupun hanya sejenak, demikian pula sebaliknya dan sejak itulah nama Kerajaan Agangnionjo di ubah menjadi Kerajaan Tanete.
Dalam perkembangan kemudian nama ini dipandang lebih cocok digunakan untuk menyebut nama Agangnionjo karena ketika itu wilayah Kerajaan Agangnionjo juga sudah tidak hanya mencakup wilayah awal kerajaan itu. Wilayah kerajaan pada periode To Maburu Limananna telah meliputi: Alekale, Punranga, Tinco, Ajangbulu, Dengedenge, Gattareng, Barang, Salompuru, Wanuwa Waru, Pange, Pangi, Beruru, Lemo, Belleyanging, Reya, Mameke, Ampiri, Balenrang, Salomoni, Boli dan Cenekko. Sementara beberapa daerah yang digabungkan kepada Tanete adalah: Lipukasi, Lalolang, Paopao, Palluda, Laponccing, dan Lembang. Sementara daerah yang bernaung pada Pancana adalah Baramase.
Raja ini tergolong raja yang sangat murah hati dan mengasihi rakyatnya. Dia dikenal senang dan suka menolong orang yang mengalami kesusahan, baik itu rakyatnya maupun abdi dalamnya. Itulah pula sebabnya ia membebaskan para tahanan raja Torijallo ri Adenenna dan diberikan tempat pemukiman bagi mereka. Tempat pemukinan itu diberi nama Lipukasi. Sikap murah hati itu menyebabkan raja ini sangat disenangi dan dicintai oleh rakyatnya.
Referensi
1. Basrah Gising, Basra, 2002, Sejarah Kerajaan Tanete, Makassar: sama Jaya Makassar
2. Makarausu Amansyah, Pengaruh Islam Dalam Adat Istiadat Bugis Makassar, Dalam Bingkisan (thn II, no. 5)
3. Patunru, Abdurrazak Daeng, 2004, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Makassar, Pusat Kajian Indonesia Timur bekerja sama dengan lembaga penerbitan Unhas
4. Syarief Longi (editor), 2001, Kerajaan Agangnionjo (Tanete), Proyek Pengadaan Sarana Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Barru tahun Anggaran 2001
5. Edward L. poelinggomang, tahun anggaran 2005, Sejarah Tanete Dari Agangnionjo Hinnga kabupaten Barru, Pemerintah Kabupaten Barru
6. Sartono Kartodirdjo, 1988, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, jilid I, Gramedia, Jakarta
7. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI): Jakarta, Arsip Makassar
8. Bahan Kuliah, Sejarah Lokal oleh Pak Suriadi Mappangara, M.Hum.
9. Heddy Shri Ahimsa Putra, 1988, Minawang: Hubungan Patron-Klien Di Sulawesi Selatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
10. G.K. Nieman, 1883, Geschiedenis Van Tanete, S-Gravenhage, Martinus Nijhoff,
1. Basrah Gising, Basra, 2002, Sejarah Kerajaan Tanete, Makassar: sama Jaya Makassar
2. Makarausu Amansyah, Pengaruh Islam Dalam Adat Istiadat Bugis Makassar, Dalam Bingkisan (thn II, no. 5)
3. Patunru, Abdurrazak Daeng, 2004, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Makassar, Pusat Kajian Indonesia Timur bekerja sama dengan lembaga penerbitan Unhas
4. Syarief Longi (editor), 2001, Kerajaan Agangnionjo (Tanete), Proyek Pengadaan Sarana Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Barru tahun Anggaran 2001
5. Edward L. poelinggomang, tahun anggaran 2005, Sejarah Tanete Dari Agangnionjo Hinnga kabupaten Barru, Pemerintah Kabupaten Barru
6. Sartono Kartodirdjo, 1988, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, jilid I, Gramedia, Jakarta
7. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI): Jakarta, Arsip Makassar
8. Bahan Kuliah, Sejarah Lokal oleh Pak Suriadi Mappangara, M.Hum.
9. Heddy Shri Ahimsa Putra, 1988, Minawang: Hubungan Patron-Klien Di Sulawesi Selatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
10. G.K. Nieman, 1883, Geschiedenis Van Tanete, S-Gravenhage, Martinus Nijhoff,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar