Senin, 15 Oktober 2007

Pojiale

POJIALE: SISI LAIN KARAKTER ORANG BUGIS

Oleh Yahya
Dosen pada jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas


Bunyi mewujudkan kata
Kata mewujudkan perbuatan
Perbuatan mewujudkan manusia
Manusia … memanusiakan manusia
Membuktikan dengan perbuatan
Muncul dari: itikad baik, kejujuran,
kecendekiaan, keteguhan, kerja keras dan
ketekunan, kepatutan, kecermatan,
kemerdekaan, dan kesolideran serta
berpegang teguh dan bertawakkal
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
(Etika Bugis Dalam Mattulada)


Pengantar

Syahdan, orang Bugis acapkali memilih menggunakan kaca pembesar saat mereka hendak bercermin diri. Akibatnya gambaran dirinya senantiasa terlihat lebih besar atau lebih hebat daripada keadaan yang sebenarnya.
Gambaran atau citra diri (self image) yang mengalami pembesaran itu, kemudian terekspresikan dalam tindakantindakan sosial mereka yang cenderung suka pamer – kekayaan, jabatan, gelar akademik dan gelar lainnya yang bersifat ascribe. Orientasinya adalah mendapatkan apresiasi dari lingkungan sosialnya secara lebih ‘wah’ dibandingkan dengan keadaan yang sebenarnya. Label yang diberikan oleh masyarakat terhadap gambaran diri seperti itu adalah pojiale.
Sementara itu, karakter orang Bugis yang tersaji dalam berbagai karya tulis umumnya bersifat idealnormatif. Sebagai misal, pola pergaulan sehari-hari orang Bugis senantiasa dilandasi oleh prinsip si pakatau – menempatkan harkat manusia sebagai makhluk yang termulia – dan pranata panngadereng – sistem norma dan aturan adat yang mengatur kegiatan dan pergaulan hidup manusia Bugis. Prinsip itu kemudian mengejawantah pada relasi antara joa (pemimpin) dengan joareng (pengikut) yang bersifat patron-client – hubungan saling melindungi dan menghidupi satu sama lain – menjunjung tinggi harkat diri dan harkat orang lain, dan setia kawan. Selain itu, orang Bugis menempatkan prinsip kejujuran (alempureng) dan kepantasan (assitinajangeng) sebagai orientasi tindakannya.
Pandangan yang kontradiktif tersebut memunculkan setidaknya dua pertanyaan utama, yakni: Mengapa karakter orang Bugis yang terungkap dalam tulisan ini berbeda secara signifikan dengan karakter orang Bugis yang tersaji dalam karya-karya tulis lainnya mengenai orang Bugis? Apakah watak pojiale merupakan watak dasar umat manusia atau merupakan konstruksi lingkungan? Jawaban atas pertanyaan itu akan dipaparkan dalam uraian berikut.

Kebudayaan dan Kepribadian: Sebuah Tinjauan Kritis
Deskripsi mengenai karakter orang Bugis yang telah dituangkan oleh sejumlah penulis – diantaranya Pelras, Mattulada, Ambo Enre, Anwar Ibrahim, Rahman Rahim, Mashadi Said, dan beberapa penulis lainnya – senantiasa dalam bingkai ideal-normatif. Pelukisan yang demikian itu merupakan konsekuensi logis dari pijakan teoritik mereka tentang kebudayaan. Bagi mereka kebudayaan dipahami sebagai sesuatu yang given, ada sebelum individu-individu lahir, dan nilai-nilai yang dikandungnya selalu dilihat dalam aspeknya yang ideal.
Lagi pula nilai-nilai ideal kebudayaan akan berpengaruh secara linear terhadap pembentukan karakter dan perilaku individu-individu yang menjadi pemangku kebudayaan tersebut. Implikasi dari pijakan teoritik seperti itu adalah mereka menjadikan sure La Galigo dan Lontara sebagai sumber data utama untuk menemukan pandangan dunia (world view) dan nilai-nilai budaya orang Bugis. Dan individu-individu yang dianggap sebagai agen utama dalam proses pewarisan nilai-nilai budaya (sosialisasi dan enkulturasi) adalah orang tua, tokoh agama, dan tokoh adat.
Maka sekalipun terdapat karya tulis mengenai orang Bugis dilengkapi dengan riset lapangan (pengamatan dan wawancara mendalam), fokus amatan dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadap informannya selalu dalam kerangka ideal-normatif. Kalau pun mereka menemukan karakter atau perilaku orang Bugis yang bertolak belakang dengan kaidah-kaidah ideal, mereka memandangnya sebagai karakter atau perilaku yang menyimpang (deviant). Karena itu mereka mengabaikannya. Konsekuensi lanjutnya, temuan risetnya selalu sejalan dengan kaidah-kaidah ideal kebudayaan Bugis sebagaimana yang tersaji dalam sure La Galigo dan Lontara.
Model berpikir yang melihat relasi antara kebudayaan dan kepribadian telah berkembang dalam ilmu antropologi sejak tahun 1930-an. Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah Ruth F. Benedict. Asumsi teoritis Benedict adalah bahwa dalam satu satuan kebudayaan dimungkinkan berkembang karakter atau tipe temperamen yang beragam sebagai akibat dari adanya perbedaan genetik dan konstitusi (ketubuhan) bagi setiap individu. Namun kebudayaan hanya membolehkan sejumlah terbatas dari karakter tersebut yang dapat berkembang, yaitu yang sesuai dengan konfigurasi dominan. Karena itu, mayoritas orang-orang dalam setiap masyarakat memiliki karakter atau tipe temperamen yang sesuai dengan tipe dominan dari masyarakatnya. Tipe karakter itulah yang disebut sebagai karakter atau kepribadian normal. Sementara individu-individu tertentu yang kurang berbakat untuk menyesuaikan karakternya dengan karakter dominan disebut sebagai deviant.
Masalahnya kemudian adalah apakah kerangka berpikir yang meletakkan nilai-nilai budaya ideal yang given itu cukup ampuh untuk menjelaskan fenomena sosial budaya yang terus bergerak, dan arah gerakannya acapkali sangat berjarak dengan nilai-nilai ideal? Tentu saja jawabannya tidak.
Dalam kaitan itu, maka tulisan ini lebih memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang hidup dan terus bergerak mengikuti gerak zaman. Dalam kaitan itu, maka kebudayaan tidak dipahami sebagai melulu membentuk individu, tetapi individu-individu juga dilihat sebagai agen yang aktif membentuk dan memberi isi terhadap kebudayaannya. Lagi pula, konstruksi nilai tidak lagi hanya dilakukan oleh keluarga, tokoh agama dan tokoh adat, tetapi juga oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga pendidikan dan pasar yang diusung oleh media massa. Akibatnya, selain kebudayaan menjadi sangat dinamis, juga ideologi pasar telah ikut membentuk karakter individu dalam masyarakat.
Cara pandang yang demikian itu, menyebabkan penulis tidak menjadikan kitab La Galigo dan Lontara sebagai sumber rujukan, tetapi lebih mengacu pada endapan pengalaman penulis sebagai “orang dalam” – orang yang lahir, besar dan berinteraksi dengan orang-orang Bugis – dan sekaligus sebagai “orang luar” – berinteraksi dengan berbagai kebudayaan “luar” dan menggeluti pemikiran-pemikiran terkini dalam ilmu sosial, khususnya antropologi.
Sebagai “orang dalam”, penulis senantiasa terpapar dengan beragam corak kehidupan orang Bugis. Karenanya, makna dan orientasi tindakan sosial mereka terekam dan tertanam secara cukup mendalam dalam peta kesadaran penulis. Selanjutnya, sebagai “orang luar” penulis dapat berjarak dan sekaligus berefleksi atas tindakan-tindakan sosial orang Bugis. Lewat refleksi itu, selain penulis menemukan adanya karakter unik yang dipunyai oleh orang Bugis, yaitu pojiale, juga tampak adanya jarak yang sangat senjang antara nilai-nilai ideal kebudayaan Bugis dengan kondisi faktual kehidupan sosial orang Bugis.


Arena Ekspresi Pojiale
Abraham Maslow, psikolog humanis kawakan berasumsi bahwa manusia memiliki enam tingkatan kebutuhan, yaitu bermula dari kebutuhan yang paling dasar (fisiological need) hingga ke tingkat kebutuhan paling tinggi (cognitive need). Penghayatan atas kebutuhan dimulai dari kebutuhan fisiologik, dan jika terpenuhi secara minimal, barulah terhayati kebutuhan berikutnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman. Jika kebutuhan akan rasa aman terpenuhi pada ambang bawahnya, barulah muncul kebutuhan berikutnya, yaitu kebutuhan sosial (berteman, mencintai dan dicintai); dan apabila kebutuhan sosial telah terpenuhi dalam batas minimal, maka mulailah muncul kebutuhan akan pengakuan diri (dihargai, diakui prestasi dan reputasinya). Demikian seterunya hingga sampai pada kebutuhan kognitif (lihat, Gunarya, 2006).
Lalu bukankah karakter pojiale merupakan perwujudan dari kebutuhan sosial dan kebutuhan pengakuan diri (self esteem) bagi orang Bugis? Jawaban atas pertanyaan tersebut boleh “ya” dan dapat pula “tidak”. Tergantung pada sudut pandang kita. Jika sudut pandang yang kita gunakan mengikuti cara pandang orang Bugis, maka jawaban atas pertanyaan di atas adalah “ya”. Sebab, bagi orang Bugis dengan memamerkan kekayaan, jabatan, gelar akademik dan gelar tradisional lainnya, maka mereka merasa relasi sosialnya akan terbangun dan merasa mendapatkan penghargaan, serta reputasi dan prestasinya diakui oleh lingkungan sosialnya.
Lain halnya, jika kita menggunakan kerangka berpikir Maslow, maka karakter pojiale dapat dikatakan sebagai bukan merupakan manifestasi dari upaya pemenuhan kebutuhan sosial dan kebutuhan self esteem. Sebab, cara pemenuhannya tidak bersifat alamiah, tetapi cenderung dipaksakan. Lagi pula semangatnya lebih ke arah penggelembungan diri di tengah lingkungan sosialnya.
Tengok misalnya, bagaimana orang Bugis yang dikenal sebagai pemeluk teguh agama Islam berlombalomba menunaikan ibadah haji, tetapi sebagian diantaranya yang motif utamanya bukan karena panggilan iman, melainkan karena mengharapkan apresiasi dari lingkungan sosialnya. Dalam konteks itu, maka dapat dimaklumi apabila terdapat sejumlah orang yang berpredikat haji/haja yang masih bermasalah aspek ibadahnya yang lain, dan bahkan acapkali menjadi pelaku dalam kegiatan “dunia malam”.
Arena lainnya yang digunakan oleh orang Bugis untuk memamerkan penguasaan sumberdaya ekonomi adalah pada saat pelaksanaan upacara perkawinan. Saat itu sebagian besar dari atau mungkin seluruh energi ekonomi keluarga akan dikerahkan untuk membiayai pesta pernikahan. Sebagai contoh kasus, tiga bulan yang lalu, penulis menyaksikan kegiatan mappenre’ doi balanca – salah satu kegiatan dalam prosesi pernikahan, dimana pihak keluarga laki-laki mengantar uang belanja ke pihak keluarga perempuan – dimana saat itu jumlah uang tunai yang diserahkan oleh pihak laki-laki sebanyak seratus juta rupiah. Penyerahan uang tersebut diumumkan dengan menggunakan pembesar suara dan disaksikan oleh ratusan orang.
Ternyata, desas-desus yang sampai di telinga penulis, jumlah doi menre’/balanca yang disepakati saat prosesi pelamaran hanya sebanyak tiga puluh lima juta rupiah. Itu berarti, enam puluh lima juta rupiah sisanya berasal dari pihak keluarga perempuan itu sendiri. Lalu, untuk apa uang sebanyak itu dipermaklumkan kepada khalayak, jika toh jumlah sebenarnya hanya sebanyak tiga puluh lima juta rupiah? Jawabannya tentu saja karena mereka mendambakan pujian dari masyarakat.
Selain itu, saat pelaksanaan pesta perkawinan, orang-orang yang hadir akan menggunakan dan memamerkan asesoris termahal yang dipunyainya. Kalung emas yang ukurannya kadang-kadang sebesar jari kelingking digelantungkan di luar pakaian; di lengannya terjejer gelang emas; busana yang digunakan acapkali dilengkapi dengan peniti emas; dan bahkan di daerah tertentu ibu-ibu kaya melengkapi asesorisnya dengan menggunakan pengikat tali kutang dari emas.
Sekitar tahun 1999, ketika siaran TV swasta belum menjangkau pelosok pedesaan di Sulawesi Selatan, kecuali dengan antena parabola, terdapat salah satu desa yang penduduknya berlomba-lomba membeli antena parabola dan tentu saja dengan TV. Tetapi pada saat yang sama, ketika dilakukan survey tentang kesehatan lingkungan, ditemukan di antara rumah tangga yang memiliki antena parabola tersebut yang tidak memiliki jamban keluarga, dan yang memiliki jamban pun acapkali tidak memenuhi standar kesehatan. Lalu kenapa hal itu terjadi? Karena kepemilikan TV dan antena parabola mengemban makna prestise. Sementara kepemilikan jamban tidak. Meskipun merupakan kebutuhan utama bagi kesehatan.
Tak jarang pula kita menemukan seseorang yang sangat setia menggunakan topi, baik ketika ia sedang mengendarai mobil maupun saat berada di supermarket dan di tempat umum lainnya. Ternyata ketika mata kita tertuju pada huruf-huruf yang tercetak di topi itu, terbacalah namanya yang lengkap dengan gelar (kebangsawanan, dan akademik) berikut jabatan yang disandangnya.
Hal yang lebih ironis adalah dunia kampus yang seyognya para aktornya larut-tenggelam dalam kegiatan akademik – kegiatan belajar-mengajar, meneliti, menulis dan mengabdikan ilmunya untuk kemaslahatan umat manusia – malah lebih terpesona pada simbol-simbol akademik.Akibatnya, guru besar sangat bangga dengan gelarnya. Karena kebanggaannya itu, maka ia akan murka jika orang menyapanya tanpa gelar, apatah lagi menulis namanya tanpa mencantumkan gelarnya. Selain itu, guru besar dan juga guru kecil terhipnotis oleh simbol-simbol materil. Maka dari itu, waktu dan energinya lebih tercurah pada upaya untuk mendapatkan tambahan gaji semaksimal mungkin agar mereka dapat mengekspresikan kepenguasaan sumberdaya materil.
Akibatnya mereka menjadi abai pada dunia yang digelutinya. Lupa meneliti dan menulis buku yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akademik. Konsekuensinya, gelar akademik yang terpajang hanya menjadi tanda-tanda yang kehilangan penanda-penandanya.

Penutup
Karakter orang Bugis sebagaimana yang penulis amati, alami dan rasakan sungguh berjarak dengan nilainilai ideal kebudayaan Bugis. Hubungan sosial yang dalam etika Bugis diantaranya dilandasi oleh ati macinnong (nurani yang bening), dan dari ati macinnong akan lahir itikad baik, kejujuran, kepantasan, dan kesolideran; namun realitasnya tak berjejak.
Ketiadaan jejak itulah sehingga di benak penulis menggelayut pertanyaan: Apakah karkter orang Bugis yang terdapat dalam sure La Galigo dan Lontara pernah hadir secara faktual dalam kehidupan orang Bugis? Ataukah isi sure La Galigo dan Lontara hanya merupakan impian dari para fiolosof Bugis pada jaman lampau? Kedudukannya. serupa dengan ideologi negara “Pancasila” yang diklaim sebagai kristalisasi dari jiwa dan pandangan dunia (wold view) bangsa Indonesia. Tetapi di sisi lain aktor-aktor bikokrasi Negara banyak yang mengidap penyakit kleptokrasi. Atau, jika memang sungguh-sungguh pernah teraktualisasi dalam kehidupan orang Bugis, maka pertanyaan lanjutnya adalah faktor-faktor apakah yang menyebabkan nilai-nilai ideal berikut karakter luhur orang Bugis kemudian mengalami penggerusan?


Disajikan pada diskusi buku “Manusia Bugis” yang diselenggarakan tanggal 14- 16 Maret 2006, di Gedung Pusat Kegiatan Penelitian Unhas, Makassar.

Tidak ada komentar: